SIBOLGA, ADA APA SIH DI SANA?
Achmad Mustofa atau yang akrab disapa Tofa ini mulai mendalami dunia kelautan semenjak kuliah di Jurusan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro Semarang. Ia saat ini aktif berbasah-basah dalam dunia konservasi laut. Penggemar Gymnothorax sp (nama keren saat recruitment klub selam jurusan, Marine Diving Club) tergabung dalam tim Capture Fisheries, WWF Indonesia. Profil penulis selengkapnya...
Laporan babat alas Achmad Mustofa di Sibolga
Sangat menarik saat kita berkunjung ke tempat baru, yang belum pernah kita kunjungi sebelumnya kemudian kita menemukan hal-hal baru yang bisa kita share dengan kawan. Bermanfaat atau tidak informasi tersebut, paling tidak kita membantu untuk mengabarkan sisi lain negeri ini, negeri antah-berantah yang jauh dari peliputan layar kaca, jauh dari hiruk pikuk mal dan sejenisnya. Saya yakin rekan-rekan juga tertarik untuk mengetahui gambaran kondisi di sana sebagai tambahan informasi atau bahkan baseline informasi ketika suatu saat nanti memiliki urusan di sana. Perjalanan ini saya lakukan ke Sibolga dalam rangka mengumpulkan informasi mengenai rumpon sebagai baseline data.Perjalanan saya mulai dari hari Jumat (9 Desember 2011) hingga Selasa(13 Desember 2011).
Riwayat Perjalanan
Saya sempat bimbang apakah riwayat perjalanan perlu saya sampaikan dalam tulisan ini, apa nanti tidak malah seperti iklan untuk wisata?hehe. Namun saya memutuskan untuk menulis juga riwayat perjalanan ini karena saya percaya bahwa ini bisa menjadi tambahan informasi yang penting bagi rekan-rekan yang akan berkunjung kesana.
Perjalanan saya mulai dari Jakarta, menggunakan pesawat terbang dengan tujuan Medan karena tidak ada pesawat terbang yang langsung ke Sibolga. Sayang sekali ternyata beberapa hari sebelumnya saya mendapatkan kepastian bahwa tiket Medan-Sibolga sudah full booked. Remuk Jantungku_(Geisha) mendengar kabar itu dari Bunda Sandra, karena artinya saya harus mencapai Sibolga dengan perjalanan darat dan waktu tempuh hingga 10 (sepuluh) jam.
Sepuluh jam kemudian saya sampai di Sibolga dan memilih penginapan di daerah tepi pantai.
Babat Alas di Sibolga
Sepertinya “nekad” sudah menjadi kamus tetap dalam hidup saya. Bukan dalam artian jelek, melainkan suatu cara untuk menumbuhkan keberanian demi mencapai tujuan. Nekad saya disini adalah saya seharusnya aktivitas saya didahului dengan memasukkan surat ke kantor PPN sebagai pemberitahuan, sayangnya karena saya tiba hari Jumat malam, dan aktivitas dimulai pada hari Sabtu dan kantor PPN libur. Sayang saja kalau satu hari itu terlewati dengan sia-sia. Kemudian apabila saya mengikuti saran teman saya dari PPN untuk mulai aktivitas pada hari Senin, bisa-bisa saya hanya satu hari saja di sana karena Selasa saya sudah harus pulang.
Sibolga merupakan kota yang didominasi dengan suku Batak (Tapanuli), suku-suku yang ada di sana adalah Melayu, Tiong Hoa,dan Jawa. Untuk ukuran kota kecil, Sibolga termasuk kota yang memiliki kepadatan penduduk cukup tinggi.
Kegiatan hari pertama diawali dengan mengunjungi PT. PAS (Putra Adi Sejahtera) sebagai salah satu perusahaan perikanan terbesar yang ada di Sibolga. Usaha untuk mewawancarai pemilik perusahaan ini mengalami hambatan terutama di perijinan. Satpam meminta surat sebagai legalitas. Akhirnya saya berbalik arah sambil mengatur strategi untuk masuk ke perusahaan itu.
Wawancara dengan Kelompok Nelayan Tolong Menolong (KNTM)
Nelayan yang menjadi anggota KNTM berjumlah 600 orang dengan jumlah armada ±200 kapal. Kelompok nelayan ini berada di Desa Aek Habil. Mayoritas kapal yang digunakan oleh nelayan tradisional ini berukuran 3 GT dan pengguna rumpon. Hal menarik yang saya dapatkan dari alat tangkapnya adalah penggunaan jaring tangguh. Yaitu semacam seser namun berukuran besar. Mereka men-seser ikan di daerah rumpon setelah memancingnya terlebih dahulu menggunakan udang kecil yang dipasang pada jaring yang ditarik ke atas. Ikan yang biasa didapat adalah ikan oga (layang), balatoace (kembung), dan ikan timpik (tongkol kecil).
KNTM juga merupakan pelopor ramainya pemberitaan tentang Pukat Harimau di Sibolga pada tahun 2000-an. Pada saat itu ramai diberitakan tentang konflik antara nelayan tradisional dengan nelayan pendatang yang menggunakan Pukat Harimau. KNTM saat itu melakukan tindakan frontal dengan menangkap langsung nelayan “jahat” itu dan dibawa ke sekretariat untuk di”adili”. Bukti foto masih bisa saya dijumpai di sekretariat mereka.
Tangkahan
Tangkahan adalah pelabuhan swasta milik perusahaan lokal perseorangan. Di Sibolga terdapat kurang lebih 5 tangkahan besar yaitu PT PAS (terbesar), PT Pasific (pertama kali di Sibolga), PT ASSA, PT ASAHI, Tangkahan milik Aling, sedangkan tangkahan milik Bpk Alex adalah tangkahan kecil. Perusahaan tersebut biasanya memiliki kapal sendiri atau bekerjasama dengan toke (juragan pemilik kapal) dan mereka adalah pengguna rumpon.
Perusahaan yang bisa saya interview adalah PT ASSA, PT Pasific, dan Bp Alex.
Proses pengumpulan informasi di Sibolga memerlukan strategi khusus karena kondisi perikanan disini sangat tertutup. Mengingat banyaknya saingan, kedatangan orang asing bisa serta merta dicurigai sebagai antek-antek saingan mereka. Contoh paling simple adalah mengenai posisi koordinat rumpon. Nahkoda (nama lokal tekong) sangat merahasiakan koordinat rumpon bahkan untuk nahkoda lain yang 1 toke. Sangat sulit untuk mendapatkan informasi mengenai titik koordinat tersebut. Hal yang penting juga saat melakukan interview, perlu benar-benar diperjelas asal dan tujuan kita sehingga tidak akan terjadi kesalahpahaman dalam wawancara.
FYI, nama kode bandara di Sibolga (Tapanuli Tengah) dengan Padang Sidempuan (Tapanuli Selatan) adalah sama yaitu AEG (Aek Godang). Bandara di Sibolga adalah Bandara Dr Ferdinand Lumbantobing sedangkan di Tapanuli Selatan adalah Aek Godang. Walaupun kode mereka sama (AEG) namun jarak tempuhnya berbeda, jadi pastikan bandara yang tepat sehingga tidak akan salah flight.