SIAPAKAH SANG “KADER KONSERVASI” YANG SESUNGGUHNYA?
Pada 8-10 Agustus 2015 lalu merupakan tiga hari yang istimewa bagi saya. Sebagai voluntir Panda Mobile WWF-Indonesia, saya berkesempatan hadir di acara Jambore Nasional Konservasi Alam dalam rangka Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) yang diperingati setiap 10 Agustus. Acara yang diselenggarakan di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) di Kabupaten Pandeglang, Banten ini bertujuan sebagai semangat awal atas upaya konservasi satwa liar, penyelamatan kawasan konservasi, serta mengedukasi masyarakat tentang pentingnya konservasi alam.
Acara dibuka oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya disertai dengan penandatanganan Deklarasi Gerakan Nasional Tumbuhan dan Satwa Liar. Hal ini melahirkan harapan baru agar acara tersebut dapat menjadi awal dari komitmen upaya konservasi oleh pemerintah Indonesia. Jambore Nasional ini diikuti oleh 300 perwakilan dari 77 Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di seluruh Indonesia, dan diramaikan pula oleh berbagai Balai Nasional Taman Nasional, pecinta alam, serta LSM.
Namun, saya menemukan ironi dibalik tujuan acara yang sangat mulia tersebut. Di sekitar lokasi acara, tercecer sampah berbentuk bekas kemasan konsumsi para peserta, seperti dus makanan, botol plastik, hingga peralatan mandi. Menurut saya, hal ini sangat memprihatinkan karena para peserta seharusnya merupakan kader-kader konservasi. Materi-materi kaya edukasi konservasi yang dipresentasikan oleh para narasumber dan dalam durasi yang begitu panjang nampaknya tidak diterapkan.
Bagaimana masyarakat Indonesia dapat mengharapkan peserta Jambore dapat menyelamatkan kawasan konservasi, satwa liar, atau mengedukasi masyarakat jika mereka sendiri tidak sanggup menerapkan nilai-nilai konservasi dari hal yang paling sederhana? Bahkan, pada hari terakhir penyelenggaraan acara dimana dalam jadwal kegiatan terdapat sesi clean beach, saya justru menemukan tumpukan sampah di sekitar perkemahan, di belakang tenda dapur, di dalam kamar mandi, hingga di pinggir pantai. Padahal sampah-sampah yang berserakan di lokasi acara yang berdekatan dengan pantai akan mengakibatkan pencemaran laut hingga mengganggu kehidupan makhluk hidup di sana.
Saya malah melihat warga sekitar yang datang untuk memulung sampah-sampah di pantai sekitar lokasi acara. Anak-anak desa sekitar juga berdatangan melakukan hal yang sama. Hal tersebut memunculkan pertanyaan di benak, siapakah sebenarnya kader konservasi yang ditujukan dari acara hari itu? Apakah para peserta Jambore Konservasi ini mampu mewujudkan upaya-upaya konservasi hingga menyelamatkan kawasan-kawasan konservasi tanpa peranan masyarakat sekitar?
Pelibatan masyarakat di sekitar kawasan TNUK juga terasa kurang dalam acara tersebut. Salah satu contoh, ketika sesi lomba mewarnai serta fun edu kids, peserta yang diikutsertakan hanya siswa-siswi dari sekolah-sekolah undangan, meskipun anak-anak desa sekitar juga ingin ikut serta.
Menurut saya, sebaik apapun kebijakan konservasi yang diupayakan oleh pemerintah, pengawasan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional, atau kampanye yang disebarkan oleh pihak LSM, harus disertai dengan kesadaran dan kepedulian masyarakat atas kelestarian kawasan Taman Nasional. Merekalah pihak yang memiliki kepentingan sebagai pencari kehidupan dan penghidupan dari sumber daya alam di Taman Nasional. Oleh karena itu, masyarakat sekitar kawasan Taman Nasional perlu diikutsertakan dalam edukasi serta kaderisasi konservasi agar menjadikan mereka sebagai garda terdepan perlindungan kawasan tersebut, termasuk mengedukasi anak-anak desa sekitar agar kesadaran serta kepedulian mereka akan pentingnya konservasi dapat tertanam sedini mungkin.
Penulis: Andre Prasetyo (Voluntir Panda Mobile WWF-Indonesia, Mahasiswa Semester 5 Jurusan HI di Universitas Islam Negeri Jakarta)