SEBUAH VISI KESEJAHTERAAN BAGI PERTUMBUHAN HIJAU DI HEART OF BORNEO
Oleh: Cristina Eghenter
Saat ini, negara-negara di seluruh dunia sedang menghadapi dua sisi yang memiliki tantangan yang sama. Di satu sisi, pembangunan terus menerus memperlebar jarak antara yang kaya dan yang miskin, dan juga antara negara kaya dan negara miskin. Di sisi lain, adanya pembatasan konsumsi dan eksploitasi yang berlebihan agar terkelola secara efektif dan adil bagi kebutuhan manusia di darat, air, maupun ekosistem. Sebuah visi yang berbeda, adil dan inklusif serta berada dalam batas-batas yang ada menjadi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan energi, pangan dan air, terutama yang paling terancam keberadaannya. Pengelolaan yang bijaksana dalam mengolah sumber daya alam yang tersedia merupakan kunci dari transformasi struktural untuk menjaga kelanjutan masa depan dan kemakmuran bagi semua makhluk hidup.
""Ekonomi hijau"" sebagai pendekatan berbasis lingkungan bagi pembangunan ekonomi memerlukan pergeseran paradigma ekonomi yang menekankan pada beberapa hal, yakni:
- Menilai modal alam sebagai alat produksi;
- Mengubah alur investasi keuangan, perubahan fiskal dan teknologi untuk mendukung pertumbuhan yang berkelanjutan, pekerjaan hijau, dan juga menciptakan kondisi bagi kebutuhan ekonomi rendah karbon;
- Memulihkan kondisi yang ada, memperkuat manusia dan modal sosial, serta mengamankan mata pencaharian yang baik untuk semua.
Hal terakhir yaitu sebuah lokakarya yang diselenggarakan oleh Asia Pacific SD4C Regional Network di Jakarta (1-2 April 2013) dalam hubungannya antara Kehidupan yang Berkelanjutan dan Ekonomi Hijau bagi kesejahteraan wilayah di Asia. Pertemuan ini menegaskan kembali bahwa tidak mungkin hanya ada 'sebuah' model bagi kepentingan ekonomi hijau. Unsur-unsur yang berada di tingkat mikro-ekonomi atau bidang kerangka kehidupan yang berkelanjutan harus diakomodasi ke dalam kerangka makro – ekonomi hijau. Masyarakat yang berpendidikan dan berkecukupan akan menjadi pelaku sosial ekonomi yang lebih kuat. Masyarakat pedesaan juga cenderung menjadi lebih tangguh jika mereka memiliki sistem mata pencaharian yang lebih luas.
Di HoB sendiri, peta ekonomi hijau (Inisiatif Heart of Borneo, 2013) menyoroti pentingnya insentif, disinsentif, dan fiskal hijau bagi perusahaan untuk menjaga kesinambungan produksi dan keseimbangan lingkungan yang berdampak tinggi seperti kayu, kelapa sawit juga pertambangan. Dan lebih berkaitan dengan penyampaian sosial dan ekuitas ekonomi hijau, maka dari itu peta ekonomi hijau ini menekankan:
- Tata kelola, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam;
- Penilaian sosial dan lingkungan;
- Partisipasi masyarakat setempat
Bagi Heart of Borneo yang memiliki modal alam dan sosial yang tinggi, serta kebutuhan pembangunan daerah terpencil yang sering diabaikan oleh pemerintah, sistem ekonomi hijau harus mampu mengintegrasikan perekonomian di tingkat desa untuk mengamankan mata pencaharian yang baik bagi kebutuhan masyarakat miskin pedesaan dan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hutan. Mekanisme kompensasi dan distribusi ekonomi perlu mendapat perhatian khusus dalam situasi di mana ada kesenjangan yang tidak merata atau pengembangan telah sangat jauh tertinggal.
Strategi keterlibatan harus menjangkau keragaman pelaku sosial dan masyarakat sipil untuk membuat mereka menjadi bagian dari peta ekonomi pro-kemiskinan dan pro-hijau. Ini termasuk upaya membuat ekonomi hijau menjadi kebutuhan lokal serta memanfaatkan inovasi dan teknologi tepat pada sasaran. Ekowisata berbasis masyarakat, agroforestri, produksi madu dan karet ataupun sertifikasi NTFP, ekonomi yang menjanjikan, usaha masyarakat yang dapat dikerjakan seperti yang dibangun di atas dua elemen utama, yaitu: menghormati nilai-nilai budaya dan sosial setempat, dan praktek tradisional , rasa memiliki dan insting bisnis yang baik dengan valuasi suara dalam memanfaatkan layanan modal alam dan ekosistem secara berkelanjutan.
Ekonomi hijau dan kehidupan yang berkelanjutan bagi masyarakat lokal perlu tersedia bagi pembangunan berkelanjutan di wilayah Heart of Borneo, termasuk di sepanjang perbatasan internasional antara Indonesia dan Malaysia.