SEBUAH PEMBANGKIT LISTRIK DENGAN PANAS BUMI
Liputan6.com, Tomohon: Planet bumi menyimpan begitu banyak energi. Geothermal atau energi panas bumi, misalnya. Berbeda dengan minyak bumi atau batu bara, panas bumi menjadi energi yang tak pernah habis. Pasalnya, air hujan yang terserap perut bumi pada akhirnya menghasilkan uap panas yang tak kunjung henti. Energi ini terbentuk di semua lapisan bebatuan Bumi sekitar empat ribu mil di bawah permukaan dan suhunya lebih panas ketimbang permukaan matahari.
Di belahan negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, dan Jepang, panas bumi dimanfaatkan sebagai energi listrik alias pembangkit listrik tenaga panas bumi. Untuk membangkitkan listrik dengan geothermal, perlu dilakukan pengeboran tanah di daerah yang berpotensi panas bumi. Yakni, membuat lubang gas panas yang akan dimanfaatkan untuk memanaskan ketel uap. Dengan begitu, uapnya bisa menggerakkan turbin uap yang tersambung ke generator.
Sementara itu, Indonesia yang menjadi bagian dari untaian cincin api Pasifik atau sirkum Pasifik membuat negeri ini kaya akan energi geothermal. Bayangkan, potensinya diperkirakan seitar 28 ribu megawatt. Hal ini berarti hampir 40 persen kandungan panas bumi dunia berada di Tanah Air. Lokasinya pun tersebar di Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, dan Papua.
Di Desa Lahendong, Tomohon, Sulawesi Utara, tersimpan energi geothermal setara dengan 313 megawatt listrik. Warga pun memanfaatkannya dengan membuat pembangkit listrik tenaga panas bumi yang telah beroperasi sejak 1996. Pembangkit listrik geothermal tersebut menjadi yang ketiga di Indonesia setelah Kamojang, Jawa Barat, dan Sibayak, Sumatra Utara, membangunnya. Kendati demikian, pengolahan potensi geothermal di Lahendong, belum sepenuhnya tuntas. Pengeboran masih terus dilakukan. Bahkan, lamanya dapat memakan waktu hingga 45 hari.
Lantas, bagaimanakah prinsip dasar pembangkit listrik geothermal? Uap panas dari dalam Bumi yang keluar dari dalam sumur dialirkan untuk menggerakkan turbin generator. Selanjutnya, uap diembunkan menjadi cairan melalui mesin penguapan di menara pendingin. Untuk menjaga kapasitas sumber uap panas tidak berkurang, air dingin disuntikkan kembali ke dalam tanah.
Setelah itu, uap panas Bumi yang digali Pertamina Geothermal disalurkan ke pembangkit listrik negara wilayah Sulut. Kapasitas sebesar 60 ribu megawatt yang dialirkan mencakup hampir 40 persen kebutuhan listrik masyarakat setempat.
Selain listrik, energi geothermal juga dapat digunakan untuk menunjang kegiatan nonlistrik. Hendrik Wawo, misalnya. Petani gula aren di Desa Pinaras, ini masih menggunakan cara sederhana dalam memproses gula aren. Ia memanfaatkan kayu bakar untuk mengubah cairan aren menjadi serbuk gula pasir. Dengan cara yang demikian, butuh waktu sekitar empat hingga lima jam untuk mendapatkan hasil gula aren yang siap dikonsumsi.
Namun demikian, cara pemanasan dengan kayu bakar memiliki kelemahan. Selain memakan waktu yang lama, serbuk-serbuk kayu bakar juga dapat masuk ke dalam adonan hingga membuat kotor. Maka dari itu, adanya tekhnologi geothermal memberi jalan keluar kelemahan kayu bakar dalam proses pembuatan gula aren. Dengan menggunakan tenaga geothermal, proses pembuatan gula aren hanya membutuhkan waktu setengah jam. Para petani cukup memanfaatkan sisa uap panas yang telah diolah pembangkit listrik.(ASW/ANS)