MENGEMBANGKAN ENERGI TERBARUKAN
Oleh Jati Andrianto
Persoalan utama listrik di Indonesia bukan hanya masalah tarif, tapi lebih pada kecukupan pasokan. Di Indonesia, pertumbuhan permintaan listrik merupakan yang tercepat di Asia Tenggara. Sampai 2016, peningkatan permintaan konsumsi listrik diperkirakan mencapai rata-rata sebesar 7-9%.
Guna memenuhi permintaan, berbagai upaya telah dilaku kan, antara lain pembangunan proyek 10 ribu MW. Namun demikian, salah satu kelemahan dari proyek listrik 10 ribu MW adalah sebagian besar masih berupa pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbahan bakar batubara.
Beberapa tahun lalu upaya ini memang menjadi solusi atas kenaikan harga serta semakin menipisnya pasokan bahan bakar minyak (BBM). Namun, hal itu tak relevan lagi untuk kondisi saat ini. Pasalnya, batubara telah menjadi bahan bakar mayoritas industri di berbagai negara, sehingga pasokan untuk pembangkit listrik dalam negeri menjadi berkurang dan sulit dipenuhi.
Apalagi harga yang diberikan oleh PIJV terhadap kontrak batubara tidak kompetitif jika dibandingkan dengan harga yang ditawarkan pelaku industri lain, baik domestik maupun asing, terutama India dan Tiongkok. Hasil batubara kita memang lebih berkibar (menguntungkan) di pasaran di luar negeri daripada dalam negeri.
Raksasa Masih Tidur
Sebenarnya masih ada sebuah ruang yang bisa dimanfaatkan guna meningkatkan pasokan listrik di Indonesia. Itulah renewable energy atau energi terbarukan, yang bisa menjadi salah satu jawaban tepat atas berbagai keterbatasan pasokan listrik di Tanah Air. Setidaknya ada lima jenis renewable energy di Indonesia yang bisa dimanafaatkan secara maksimal, yakni panas bumi (geothermal), tenaga air (hydro energy), biomassa, tenaga angin (wind energy), dan tenaga matahari (solar energy).
Soal potensi energi terbarukan tersebut, data menunjukkan Indone- ( sia sangat berpeluang mengembangkan kekayaan alam tersebut. Cadangan geotermal di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara, dengan perkiraan di 27 titik dengan total kapasitas listrik sampai mencapai 27 Gigawatt (GW). Hydro energy, terutama di wilayah Indonesia Tengah dan Timur memiliki total kapasitas sekitar 20 GW.
Biomassa yang merupakan limbah dari sebagian besar industri jugamemiliki potensi besar sekaligus menjadi solusi. Wilayah geografis pantai Indonesia sepanjang 81 ribu km juga memiliki potensi energi angin sangat besar. Begitu juga dengan energi matahari.
Sayangnya, semua itu masih merupakan potensi yang tetap ""tersimpan"", dan tak terolahkan. Pemerintah belum memberikan perhatian serius pada energi terbarukan yang cukup berlimpah ini. Dalam proyek 10 ribu MW tahap D yang menurut rencana selesai pada 2015, sebagian besar pembangkit listrik masih dialokasikan untuk PLTU. Sedangkan pembangkit listrik berbahan bakar renewable energy hanya difokuskan pada panas bumi, tenaga air, dan tenaga matahari.
Dari sisi biaya, PLTU memang lebih ekonomis dibandingkan pembangkit listrik berbahan bakar renewable energy. Selain itu, dari sisi harga listrik per kWh-nya, secara agregat harga listrik dari PLTU untuk setiap kWh lebih murah dibandingkan dengan energi terbarukan tersebut di atas.
Ini terutama disebabkan banyakbiaya tak langsung (indirect cost) yang tidak dimasukkan ke dalam perhitungan tersebut Tapi, ketika berbagai biaya langsung, terutama transportasi batubara dan kendala cuaca, dimasukkan ke dalam perhitungan biaya per kWh, maka harga relatif berimbang.
Hanya saja ada sebuah masalah yang kerap muncul terkait investasi di bidang energi terbarukan tersebut yakni perizinan. Untuk proyek panas bumi, misalnya, dibutuhkan waktu empat tahun hanya untuk urusan izin saja. Inilah yang membuat para investor enggan masuk ke bisnis panas bumi. Padahal dari sisi minat tak sedikit investor yang siap menggelontorkan dana lebih dari US$ 1 miliar untuk menggarap energi panas bumi
Roadmap Perubahan Iklim
Dari perhitungan bisnis murni, pengembangan energi terbarukan memang menguntungkan. Masalahnya, banyak pihak, termasuk pemerintah belum sesungguhnya menyadari keuntungan dari energi terbarukan tersebut
Selain keuntungan dari sisi bisnis, ada potensi keuntungan yang tersembunyi dari atas bisnis renewable energy. Keuntungan tersebut adalah pembangkit listrik yang menggunakan energi terbarukan tidak menimbulkan emisi karbon.
Sesuai kesepakatan Protokol Kyoto, untuk karbon kredit sendiri memang hanya akan diakui sampai akhir 2012. Namun, banyak pihak yang me- yakini bahwa kegagalan perpanjangan perolehan karbon kredit dalam skema Clean Development Mechanism (CDM) pada KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen Denmark, beberapa waktu lalu, akan bisa diperbaiki pada KTT Perubahan Iklim tahun ini.
Ini semua tak terlepas dari kondisi perekonomian global yang sudah relatif jauh membaik dibandingkan tahun 2009. Dengan demikian negara-negara maju hanya akan menyiapkan danannya untuk membeli karbon kredit yang dihasilkan oleh berbagai industri, terutama daii negara-negara berkembang.
Ijebih dari segalanya, pengembangan energi terbarukan juga sesuai dengan peta jalan (roadmap) perubahan iklim yang beberapa waktu lalu telah dikeluarkan oleh pemerintah. Walaupun roadmap perubahan iklim masih memiliki berbagai celah kelemahan, memasukkan pengembangan energi terbarukan dalam program pemerintah akan sangat relevan dengan kebijakan berbagai negara di dunia tentang perubahan iklim.
Jadi, tampak jelas bahwa menjalankan bisnis dalam rangka mengurangi dampak perubahan iklim bukan lagi membebani kinerja keuangan perusahaan (costcenter), tapi justru memberikan keuntungan yang jumlahnya bisa sangat besar (profit center).
Penulis adalah strategic and development director Karbon Advisory