SAWENDUI, SUDAH BUKAN KAMPUNG BARU LAGI
Oleh: Ade Erawati Sangadji (Learning Centre & Marketing Communication Coordinator Program Papua)
Salomina Fonataba dan Henderkus Woriasi berbinar-binar saat bercerita tentang potensi Kampung Sawendui di Distrik Raimbawi, Kabupaten Kepulauan Yapen. Betapa tidak, tiga tahun lalu, Kampung Sawendui bahkan belum ada. Ketersediaan dusun sagu sebagai bahan makanan pokok merupakan syarat utama berdirinya sebuah kampung di Papua yang menjamin keberlangsungan hidup penduduk kampung. Sedangkan di Sawendui tidak ada dusun sagu di sana saat itu. Kampung ini dibangun hanya mengandalkan potensi laut dan potensi hutan yang tersisa akibat gerusan perusahaan HPH (Hak Pengusaha Hutan).
Masyarakat di Sawendui merupakan orang-orang yang optimis dan berpikiran positif berupaya mengembangkan kampungnya. Kepala Kampung Sawendui, Absalom Koranu, yang sejak awal teguh berkomitmen membangun Kampung Sawendui adalah salah satu contohnya. “Pembangunan harus dimulai dari kampung, baru menyebar ke luar. Kampung harus sejatera dulu,” demikian komitmen Absalom Koranu. Tidak sembarang membangun, pembangunan Sawendui diarahkan menjadi pembangunan yang berdasar prinsip-prinsip berkelanjutan.
Melihat potensi dan semangat masyarakat Sawendui, WWF-Indonesia Program Papua melakukan kegiatan pendampingan kelompok-kelompok masyarakat di Sawendui. Salah satunya adalah kelompok masyarakat yang tergabung dalam Koperasi Serba Usaha (KSU) Kornu. Henderkus Woriasi, salah satu anggota KSU Kornu menjelaskan, “Kami berusaha memperbaiki hutan kami yang dulu pernah jadi areal operasi HPH. Kami lakukan persemaian 800 bibit pohon Merbau di sepanjang daerah aliran sungai, 200 bibit pohon matoa juga sudah kami tanam,” lanjut Henderkus. Salomina juga menambahkan, “Selain itu, sebagai sumber makanan pokok selain umbi-umbian, di daerah Kali Katwar, kami tanam 400 bibit pohon sagu. Kami harus melawan ombak saat menanam sagu karena mengitari pesisir pantai untuk sampai ke Katwar.” Henderkus menyambung dengan optimis, “Tapi tidak masalah, di masa datang, kami akan punya dusun sagu, juga hutan kami kembali.”
Tidak hanya itu, beberapa larangan juga diterbitkan oleh kepala kampung untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, seperti pengambilan hasil laut yang hanya dilakukan untuk kepentingan konsumsi masyarakat kampung saja. Selain itu, perburuan burung cenderawasih untuk kepentingan aksesori budaya pun saat ini sudah dilarang. “Masih ada penggunaan bulu burung cenderawasih di topi penari-penari Sawendui. Itu kami dapat dari mengumpulkan bulu burung yang rontok ketika cenderawasih sedang menari atau bertengkar berebut betina,” terang Salomina sambil tersenyum.
“Kami masyarakat Kampung Sawendui, saat ini tidak kekurangan makan. Kami butuh uang untuk biaya sekolah anak-anak di kampung. Melalui pendampingan WWF, saat ini kami sudah tanam 256 bibit kakao di areal kebun masyarakat,” terang Henderkus dalam pemaparan Focus Group Discussion (FGD) KSU pada saat kunjungan silang antar KSU di Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang, pada Jumat (15/12) yang lalu. Harapan lainnya dari masyarakat adat Kampung Sawendui adalah pengembangan ke arah ekowisata.
Faktanya, keindahan terumbu karang yang terekam saat Ekspedisi Saireri tahun 2016, membuka potensi wisata bahari di Sawendui. Sementara itu, menurut hasil survei identifikasi Nilai Konservasi Tinggi (NKT) yang dilakukan pada 8-15 Maret 2017 oleh WWF-Indonesia melibatkan masyarakat adat Sawendui yang tergabung dalam KSU Kornu di kawasan Masyarakat Adat Kampung Sawendui, Distrik Raimbawi, di wilayah hutan adat/hak ulayat Marga Koranu seluas ± 4.450 Ha, sebanyak 86% wilayah Sawendui dapat dikelola dalam kegiatan community forestry melalui pemanfaatan hasil hutan kayu dan jasa lingkungan. Saat ini tidak kurang dari 82 jenis burung dan 3 jenis burung cenderawasih, yaitu Cenderawasih Raja (Cincinnurus regius), Cenderawasih Kecil (Paradisea minor), dan Cenderawasih Belah Rotan (Cicinnurus magnificus chrysopterus) hidup di hutan kampung Sawendui yang membuka peluang wisata pemantauan burung (birdwatching).