SAATNYA BENAHI PENGELOLAAN HUTAN
NERACA-Moratorium hutan hasil kesepatan Oslo pantas dijadikan momentum untuk menata hutan di tanah air. Carut marut pengelolaan hutan tropis di Indonesia tak hanya menyebabkan kerugian bangsa Indonesia, namun juga menyentuh simpati masyarakat dunia. Terlampau pongah jika mengabaikan peluang yang berharga ini.
Setidaknya hal itu pula yang disuarakan kalangan penggiat dan aktivis lingkungan hidup. Mereka umumnya berpendapat bahwa pemerintah perlu menggunakan moratorium hutan selama dua tahun sebagai momentum untuk memperbaiki tata kelola kehutanan yang penuh masalah. Salah satunya bisa dimulai dari beragam kasus kehutanan di Provinsi Riau.""Pemerintah, terutama Kementerian Kehutanan, harus mengevaluasi tata kelola kehutanan selama moratorium hutan diberlakukan. Jangan hanya terlalu fokus dengan dana kompensasi dari negara asing, tapi tak membawa perubahan yang lebih baik, kata Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikala-hari), Susanto Kurniawan.
Dia berpendapat masalah yang perlu diurai mengenai tata kelola kehutanan mulai dari evaluasi regulasi di sektor kehutanan, penegakan hukum terhadap pembalakan liar, penerbitan izin konsesi dan izin perluasan untuk perusahaan perkebunan di hutan alam yang menerabas aturan, tumpang tindih kawasan kehutanan, hingga konflik agraria karena tak diakuinya hak hutan ulayat untuk masyarakat adat.Perlu ada keberanian dari pemerintah untuk mau melakukan perubahan,"" ujarnya. Menurut dia, pemerintah harus berani melakukan audit terhadap perizinan yang telah diterbitkan di hutan alam.
Sebabnya, konflik kehutananyang muncul antara masyarakat dan perusahaan juga disebabkan proses penerbitan izin yang tergolong carut-marut.Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, Zulfahmi, berpendapat bahwa pemerintah harus lebih mendengar aspirasi masyarakat di sekitar hutan untuk nSenerapkan paradigma ""bottom-up"" dalam penyusunan rencana aftsi nasional. Pemerintah harus menempatkan masyarakat pada posisi penting, sebagai aktor utama, dalam penerapan konsep REOD+.""Konsep REDD bisa menjadi pisau bermata dua. Memberikan keuntungan dana kompensasi tapi juga bisa menempatkan masyarakat dalam posisi yang lebih sulit dari sebelumnya,"" kata Zulfahmi. Untuk itu dibutuhkan konsistensi dan strategi yang tepat guna mencapai tujuan yang hendak dicapai.
Dalam pelaksanaan konseptersebut tentu ada konsekuensi pengamanan dan penggunaan terhadap hasil hutan yang lebih ketat. Karena itu, sosialisasi dan penguatan kelembagaan masyarakat di sekitar hutan perlu diperhatikan pemerintah sehingga program yang dijalankan benar-benar efektif. Intinya adalah program dari, oleh, dan untuk masyarakat yang hidup di sekitar hutan.Selain itu, pemerintah juga bisa memulai membenahi manajemen pengelolaan hutan dengan cara mengakui hak hutan ulayat.Sebabnya, Zulfahmi meyakini masyarakat adat telah lama memiliki kearifan lokal untuk pengelolaan hutan yang sayangnya hingga kini minim apresiasi oleh pemerintah. ""Pemerintah istilahnya jangan copy-paste dari program lama yang belum tentu benar-benar diinginkan masyarakat setempat,"" katanya.
Keberhasilan pemerintah Indonesia memperbaiki tata kelola kehutanan selama pemberlakukan jeda tebang hutan akan membantu pencapaian target mengurangi tingkat pelepasan emisi gas rumah kaca dari deforestasi sebanyak 26 persen hingga 2020. Lebih dari itu, suksesnya program tersebut diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan seorang Deh Saputra dan semua rakyat Indonesia yang hidup bergantung dari isi hutan.
Untuk itu Greenpeace mendesak kepada pemerintah untuk melakukan langkah nyata dengan segera menerapkan moratorium pengusahaan hutan sebagai tindak lanjut nota pernyataan bersama (Letter of Intent/Lol) Indonesia dan Norwegia pada sektor kehutanan. ""Moratorium merupakan respon positif komitmen presiden, tetapi yang kita butuhkan adalah tindakan segera moratorium, karena konversi hutan masih berlangsung, ""kata Zulfahmi.
Zulfahmi mengatakan pemerintah Indonesia bisa dipermalukan oleh dunia internasional apabila tidak segera melakukan moratorium karena pembu-kaan hutan secara masif masih berlangsung. Greenpeace sendiri telah melakukan pengecekan ke berbagai lokasi di Sumatra dan menemukan pembukaan hutan masih berlangsung.""Pekan lalu Presiden telah mendeklarasikan moratorium penebangan hutan selama dua tahun. Tetapi ini tidak akan bisa menyelamatkan sekitar 1,8 juta hektare hutan yang telah ditetapkan, dari kehancuran tanpa intervensi terhadap konsesi yang telah ada,"" katanya.
Tanpa itu Presiden tidak akan bisa mencapai komitmennya menurunkan emisi Indonesia hingga 26 persen dengan atau tanpa bantuan internasional Jika Indonesia ingin menurunkan emisi secara cepat dan signifikan, moratorium ini harus diaplikasikan dalam bentuk Keputusan Presiden untuk menghentikan semua konversi lahan gambut dan hutan, baik konsesi baru maupun yang telah ada. Bahkan WWF-lndonesia melihat pemerintah harus menyelesaikan masalah hutan sebelum pelaksanaan REDD+.
Hal itu bisa dilakukan misalnya mengenai hak masyarakat adat, tata ruang dan tata wilayah, tata pemerintahan yang baik dan pembagian manfaat yang jelas. ""Ada tantangan untuk menyelesaikan berbagai isu kehutanan itu sebagai pra kondisi untuk pelaksanan REDD,kata Fitrian Ardiansyah, Direktur Iklim dan Energi WWF-lndonesia.Dia mengatakan ada tiga hal yafiq perlu dilakukan pemerintah untuk pelaksanaan REDD+ di Indonesia antara lain jaminan proses pengembangan dan regulasi REDD+ bisa diformulasikan dalam pembangunan di Indonesia. ""Hal itu agar REDD+ bisa masuk pada internal pembangunan, maka harus jadi kebijakan sektor dan daerah. Supaya REDD+ tidak dikesampingkan, ""katanya.
Hal kedua yaitu agar pemerintah memastikan permasalahan kehutanan dan REDD bisa diselesaikan, seperti MRV (monitoring, reporting and verification), hak masyarakat adat dan distribusinya. Hal ketiga yaitu adanya mekanisme pengelolaan keuangan yang tepat yang menjamin pendistribusian dana REDD+ sampai ke aktor yang tepat seperti institusi yang mengelola hutan. Pada akhirnya, moratorium diharapkan memang untuk kebaikan semua, baik masyarakat sekitar hutan maupun untuk alam Indonesia sendiri.(ris/ant/dbs)