REFLEKSI HARI PARIWISATA DUNIA (1): STANDAR PENGELOLAAN KITA HARUS LEBIH TINGGI!
Oleh: Indarwati Aminuddin (National Coordinator for Responsible Marine Tourism, WWF-Indonesia)
Indonesia telah membuka pintu gerbang sebesar-besarnya untuk pariwisata. Segalanya berjalan dengan cepat; penyusunan regulasi baru; pembukaan akses jalan nasional, kota, kabupaten, dan pelosok; penelusuran jalur kapal rekreasi; pembangunan hotel dan restoran; pengembangan destinasi baru; hingga penyewaan lahan dan pulau.
Pada tahun 2016, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke tanah air mencapai 11,52 juta. Angka ini naik 10,69% dibandingkan periode yang sama di tahun 2015 sebesar 10,41 juta kunjungan. Sebagian wisatawan masuk melalui dua bandara utama Indonesia; Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Ngurah Rai, Bali, dan Hang Nadim, Batam.
Pada tahun 2017, jumlah kunjungan wisatawan mencapai 5,36 juta untuk periode Januari-Mei 2017. Artinya, diprediksi, Indonesia akan mendapatkan total kunjungan yang lebih besar lagi tahun ini. Melejitnya angka kunjungan masih didominasi wisatawan China, disusul Singapura, Australia, Malaysia, dan Jepang. Sisanya adalah wisatawan dari berbagai negara.
Pemerintah Indonesia dan praktisi pariwisata begitu antusias membuka ruang-ruang terpencil dan indah sebagai destinasi. Kita memperlakukan kepariwisataan sebagai bagian dari ekonomi, mendedikasikan kepariwisataan untuk mencapai target Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Dengan cara pandang ini, lokasi yang indah dan paling signifikan secara ekologis, menjadi ruang terbuka untuk kepariwisataan.
“Hal ini bukan tanpa risiko sama sekali,” ungkap Jensi Sartin, Koordinator Marine Protected Area (MPA) Komodo, WWF Indonesia.
“Kami melihat bagaimana Taman Nasional Komodo telah menjadi magnet bagi semua pihak; nelayan, dive operator, atau kapal rekreasi; dengan tujuan berbeda,” tambah ia.
Sejalan dengan tumbuhnya angka wisatawan, tumbuh pula konflik lahan, perburuan rusa dalam kawasan, penjualan spesies yang dilindungi, marginalisasi warga lokal, hingga kekurangan air bersih serta sampah yang tak tertangani.
“Kepariwisataan yang baik dan benar seharusnya bisa menjawab tantangan ini. Standar pengelolaan yang tinggi, komunikasi dan koordinasi aktif, serta pemantauan dan evaluasi rutin. Hal-hal ini yang dapat meminimalisir kerusakan yang ditimbulkan dari praktik merusak tersebut,” kata Jensi lagi.
Tanpa standar pengelolaan pariwisata tinggi, kita tak akan bisa menjawab target pembangunan berkelanjutan. Standar inilah yang kemudian didorongkan oleh WWF-Indonesia, dengan membangun program Signing Blue. Sebagai upaya mendorong praktik dan komitmen tinggi dalam bisnis pariwisata, Signing Blue diinisiasi sebagai perangkat yang mengukur performa usaha pariwisata dari tiga aspek; ekologi-biodiversitas, sosial, dan ekonomi.
“Kriteria dan alat ukur dalam Signing Blue memungkinkan pelaku usaha melihat apa saja yang perlu diperbaiki, dihindari, dikurangi, dan dilakukan agar sumber daya sekitar tidak mengalami penurunan kualitas,” ujar Wayan Panca, Sekretaris Signing Blue, WWF-Indonesia.
Saat ini, tercatat 81 pelaku kepariwisataan di berbagai kota di Indonesia – Jakarta hingga Nusa Tenggara - secara resmi telah mendaftarkan perusahaannya untuk bergabung dalam program Signing Blue.
Signing Blue tak sekedar diperuntukkan bagi penyedia layanan wisata, tetapi juga terbuka bagi para wisatawan yang mau berkomitmen pada aktivitas wisata yang bertanggung jawab. Melalui platform Signing Blue Individual yang dirilis akhir September ini. Anda ingin bergabung dengan Signing Blue Individual dan ikut meninggikan standar dalam berwisata? Ini saatnya!