PERJUMPAAN PERTAMA DENGAN SANG RAKSASA IKAN
Masayu Yulien Vinanda atau yang akrab disapa Nanda ini sudah 3 tahun bergabung di WWF Jakarta sebagai Media Content Development Officer. Selain mengembangkan konten untuk website dan blog WWF-Indonesia, ia juga menjadi Redaktur Pelaksana majalah Living Planet Magazine (majalah untuk Supporter WWF-Indonesia yang terbit setiap 4 bulan). Melalui tulisannya, ia berupaya untuk menjadikan isu lingkungan menjadi lebih ""dekat"" di kehidupan masyarakat yang lebih luas.. Profil penulis selengkapnya...
Nabire (30/05)-Laut yang jernih dengan koleksi ikan dan terumbu karang yang beraneka warna adalah keindahan surga bawah laut yang selalu ditawarkan sejumlah kawasan perairan laut. Namun, di perairan Kwatisore, kawasan konservasi laut Teluk Cenderawasih (TNTC), Papua Barat, tersimpan pesona bahari unik yang menjadikan wilayah ini magnet bagi para pecinta wisata laut.
Di lokasi inilah, spesies ikan terbesar di dunia, Rhincondon typus atau hiu paus kerap kali muncul ke permukaan dan berenang mendekati bagan (rumah terapung nelayan). Ga heran sih, karena memang bagan ini dipersenjatai oleh jaring-jaring yang dipenuhi ikan puri (ikan-ikan kecil), santapan favorit hiu paus. Hiu paus ini bener-bener seperti hewan peliharaan yang selalu “ngarep” menanti pembagian makanan dari tuannya, he..Fisiknya memang besar, panjangnya bisa mencapai 20 meter dan beratnya 21 ton, raut wajahnya pun sekilas terlihat misterius, namun hiu pemakan plankton ini sangat jinak. Tampilan Rambo hati rinto juga ternyata :P
Nah di tiap bagan biasanya kita bisa bertemu dengan 5 sampai 7 individu. Pemandangan unik yang hanya bisa dijumpai di Teluk Cenderawasih. Untuk bisa melihat hiu yang merupakan satu satunya dari anggota genus Rhincodon dan familinya ini, kita cukup snorkeling atau bahkan mengamatinya dari boat maupun bagan. Tidak perlu menunggu berjam-jam untuk bertemu dengan hiu paus. Beberapa menit saja berdiam di sekitar bagan, gerombolan satwa laut unik ini akan terlihat berenang mendekati bagan, muncul di permukaan, membuka mulutnya yang lebar, dan siap menyantap ikan-ikan puri yang dibuang ke laut oleh nelayan. Very effortless. Bahkan saya yang bisa dibilang parno sama laut lepas aja bisa snorkeling sampai hampir 6 jam. Seru! Rasa takut mendadak lenyap, berganti dengan kekaguman tak berujung (kayak lagunya Glen Fredly :P). Awalnya memang sempat kaget sih, ditabrak gurano bintang ini (oiya, Gurano bintang itu panggilan sayang masyarakat setempat untuk hiu paus ini). Tapi kaget, takut, itu ga bertahan lama. Paling-paling 15 menit pertama aja kok. Setelahnya? Ga mau naik ke kapal saking asiknya bercengkerama dengan si raksasa ikan ini.
Keunikan hiu paus di wilayah ini mendorong pihak pengelola kawasan konservasi Teluk Cenderawasih untuk menjadikannya sebagai ekowisata unggulan kawasan konsevasi laut terluas di Indonesia itu. Namun data-data pendukung seperti berapa jumlah hiu paus yang ada di TNTC, di mana saja lokasinya, serta jalur migrasinya masih sangat minim. Nah, untuk mengenal lebih dalam lagi hiu paus ini, WWF-Indonesia bekerja sama dengan Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih (BBTNTC) dan HUBBS Seaworld Institute (lembaga penelitian nonprofit berbasis di California) menginisiasi program riset dan monitoring hiu paus.
Saat itu saya sempat mewawancarai peneliti senior dari HUBBS, namanya DR. Brent Stewart. Takjub banget waktu liat Brent yang free dive waktu memasang sebuah tag yang terhubung dengan satelit di tubuh hiu paus. Setelah jaraknya cukup dekat dengan hiu paus, Brent menggunakan spear gun untuk menembakkan tag di bagian samping dorsal fin. Tidak terlalu dalam, hanya sekitar 4 cm. Tag dipasang di bagian sirip punggung (dorsal fin) karena di daerah itu terdapat banyak lemak, sehingga pemasangan tag tidak akan menyakiti atau mengganggu hiu paus (melegakan mendengar penjelasan ini, karena berarti tag ini tidak menyakiti hiu paus itu). Setelah tag terpasang, maka enam bulan kemudian tag akan terlepas secara otomatis dari tubuh hiu dan mulai mentransmisikan data melalui satelit.
“Guilermo. Saya namakan hiu paus yang ditag itu Guilermo.” Italiano sekali,he3..Kalau kata Brent, Guilermo itu bisa disamakan dengan nama “Bill” di Amerika. Hmm kalo di Indonesia jadi apa ya? Sutarno? Wkwkwk.
Anyway, alat penanda itu oleh para peneliti disebut pop-up tag. Tagging atau penandaan itu bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang pergerakan hiu paus disamping informasi tambahan mengenai kondisi lingkungan hiu paus yakni tekanan, level cahaya, suhu dan kedalaman laut. Informasi itu penting sebagai identifikasi awal daerah penting bagi hiu paus guna mendukung upaya perlindungan ikan terbesar tersebut.
“Di wilayah lain yang pernah saya teliti seperti Donsol di Filipina, Australia Barat, Maladewa, dan Kenya, umumnya sulit untuk memasang tag pada hiu. Biasanya kami hanya menemukan satu hiu. Kami tidak dapat melakukan banyak sampling dan pengamatan dalam waktu yang sangat singkat. Tapi tidak di Kwatisore. Disini, kami dapat berinteraksi lebih intim dengan hiu, mereka banyak ditemui di sekitar bagan. Bahkan kita dapat melakukan pengamatan hanya dengan duduk di atas kapal. Sungguh luar biasa,” jelas Brent yang tak mampu menutupi ketakjubannya akan hiu paus di Kwatisore.
Selain mengandalkan tagging, tim riset hiu paus yang terdiri dari staf WWF Indonesia dan masyarakat lokal juga melakukan identifikasi hiu dengan memotret pola spot di tubuh hiu menggunakan kamera underwater. Seperti layaknya sidik jari pada manusia, pola titik-titik di tubuh hiu itulah yang bisa membedakan individu yang satu dengan lainnya.
Bagian spesifik yang difoto adalah spot yang berada di atas pectoral fin bagian kiri atau kanan karena spot pada bagian tersebut tidak terlalu rapat dibandingkan bagian tubuh lainnya. Selain itu bekas luka juga dapat digunakan sebagai penanda identifikasi yang membedakan individu satu dengan individu lain.
Ratusan foto hiu yang telah terkumpul akan dijadikan database yang akan memudahkan analisa informasi pergerakan hiu paus serta memperkirakan jumlah hiu paus di suatu lokasi.