ORANG TALANG MAMAK DI BUKIT TIGAPULUH
Oleh: Riyanti Dewi
Jauh di dalam Hutan di kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh di Provinsi Riau dan Jambi, hidup komunitas Suku Talang Mamak. Suku asli Indragiri Hulu, yang disebut juga sebagai “Suku Tuha” yang berarti suku yang pertama kali datang dan berhak atas sumberdaya alam di Indragiri Hulu. Masyarakat yang juga yang tergolong dalam suku Proto Melayu atau Melayu Tua ini, diperkirakan sudah tinggal beratus-ratus tahun lamanya di hutan dataran rendah Bukit Tigapuluh. Jauh sebelum kawasan itu ditetapkan sebagai taman nasional.
Suku Talang Mamak hidup tersebar di 6 Kecamatan, yaitu Batang Gansal, Batang Cenaku, Kelayang, Rengat Barat, dan Rakit Kulim di Indragiri Hulu, Provinsi Riau, serta di Kecamatan Sumay Tebo, di Provinsi Jambi. Salah satu komunitas terbesar, hidup berkelompok di Dusun Tuo Datai, yang berada di Hulu sungai Gansal Desa Rantau Langsat, Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Sekitar dua ratus delapan puluh kilometer dari kota Pekanbaru.
Terasing di pedalaman, Orang Talang Mamak hidup dengan cara-cara yang masih tradisional di rumah-rumah panggung. Sebagian masih memanfaatkan kulit kayu sebagai dinding rumah, dan daun palem sebagai atap. Hutan dan sungai adalah identitas penting yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka.
Orang Talang Mamak umumnya hidup dekat sungai. Di masa lalu mereka sangat mengandalkan transportasi sungai atau berjalan kaki untuk pergi ke kota menjual hasil kebun. Namun saat ini sebagian mulai menggunakan sepeda motor untuk berpergian, melalui jalan-jalan kecil yang sebagian besar kondisinya sulit dialui.
Suku Talang Mamak kini menghuni area yang ditetapkan sebagai zona tradisional atau zona khusus Taman Nasioanal. Secara umum mereka hidup bertani kebun dan ladang, menyadap karet dan meramu hasil hutan non kayu (HHNK) seperti Madu, Damar, Pinang dan buah Jerenang dan Kelukup.
Jernang dan Kelukup adalah buah dari spesies rotan yang hidup liar di dalam hutan. Buah Jernang dan Kelukup berwatna bulat, dan berwarna cokelat kehitaman, sementara Klukup berwarna cokelat kemerahan. Uniknya dua jenis buah ini sudah masuk dalam komoditas ekspor yang harganya cukup mahal karena selain langka, permintaan pasar akan dua buah ini sangat tinggi. Keduanya banyak digunakan sebagai bahan baku pewarna kosmetik, farmasi, kertas, serbuk pasta gigi dan bahkan dalam pembuatan keramik dan marmer.
Buah Jernang juga dimanfaatkan masyarakat Talang Mamak sebagai salah satu tanaman obat tradisional yang bisa menyembuhkan Diare, nyeri perut, sakit pencernaan, sariawan hingga kencing berdarah. Tak hanya itu, aromanya yang khas membuat Jernang juga dimanfaatkan dalam ritual dupa, dan kerap disebut sebagai kemenyan merah.
Sayangnya Jernang dan Kelukup sekarang semakin sulit dicari. Harga yang cukup mahal membuat banyak orang, termasuk masyarakat di luar komunitas Talang Mamak, juga berlomba untuk mencarinya. Salah satu solusi yang kini tengah dirintis Balai Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan masyarakat Talang Mamak adalah budidaya Rotan Jernang dan Kelukup. Masyarakat mulai belajar untuk melakukan pembibitan dan pemeliharaan tanaman, melalui kelompok-kelompok tani di setiap dusun.
Suku Talang Mamak menjadi salah satu entitas yang kehidupannya tak bisa dipisahkan dari Hutan dan segala isinya. Mereka punya peran sangat penting untuk mengatur ekosistem taman nasional. Bila hutan rusak, bisa dipastikan kehidupan Orang Talang Mamak pun akan terancam.