MEWUJUDKAN HARAPAN MELALUI BADAN KERJASAMA EKONOMI HIJAU
Oleh: Darmansyah Lubis
Pemanfaatan ruang merupakan instrumen pembangunan penting di Indonesia. Namun demikian berbagai ketidakkonsistenan dan keterlanjuran masa lalu menggambarkan dua sisi yang saling bertubrukan, yakni: pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan hidup. Hal ini dapat dilihat dari statistik pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam dekade terakhir menunjukkan pencapaian yang relatif baik bila dibanding negara-negara lain. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,78% di tahun 2013. Sebaliknya, indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH), selama 3 tahun terakhir justru menunjukkan penurunan (Tahun 2011 sebesar 65,50; Tahun 2012 sebesar 64,21; dan Tahun 2013 sebesar 63,1).
Banyak hal menjadi sebab. Padahal, semestinya kedua sisi itu berjalan beriring dalam koridor yang menggaransi pembangunan berkelanjutan. Bisa jadi, pemahaman alam Indonesia yang kaya harus dimulai dengan resiko- resiko keunikannya.
Badan Kerjasama Ekonomi Hijau (BKEH)
WWF dengan dukungan Millenium Challenge Account – Indonesia (MCA-I) dalam program RIMBA, telah memulai kerjanya di tiga propinsi (Jambi, Riau dan Sumatera Selatan) mencakup 19 kabupaten dan area seluas 3,8 juta hektar sejak Januari 2016. Program ini didukung juga oleh Program GEF (Global Environment Facility) RIMBA, yang dikelola oleh UNEP Regional Asia-Pasifik untuk memastikan keberlanjutan program di Koridor RIMBA selama 6 tahun.
Program RIMBA mengusung misi penguatan pengelolaan sumber daya alam dan peningkatan cadangan karbon di Sumatera Tengah melalui pembangunan ekonomi hijau demi mengatasi kemiskinan dan membangun konektivitas hutan. Salah satu capaiannya adalah menyiapkan konsep kelembagaan tata kelola ekosistem RIMBA yang kemudian disebut Badan Kerjasama Ekonomi Hijau (BKEH) Koridor Riau, Jambi dan Sumatera Barat (RIMBA). Ini merupakan harapan bagaimana membangun ekonomi yang telah menginternalisasi masalah lingkungan dan sosial didalam keputusan dan pengelolaannya. Koridor ekosistem RIMBA sendiri sejalan dengan berbagai aturan. Sebutlah amanat Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR).
Peraturan ini menyebut penyelenggaraan penataan ruang bertujuan mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional melalui: (i) harmonisasi antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; (ii) keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia; dan (iii) perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Dalam konteks perencanaan pembangunan, Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN 2005-2025) menyatakan Rencana Tata Ruang (RTR) menjadi pedoman bagi pemanfaatan sumberdaya alam yang optimal dan lestari dengan memperhatikan resiko bencana serta menjadi dasar bagi pembangunan sarana dan prasarana pembentuk struktur ruang nasional. Melalui instrumen tata ruang juga diharapkan dapat menyeimbangkan antara pemanfatan dan pemeliharaan kualitas hidup. Kondisi ini telah mejadi dasar kesepakatan politis sepuluh Gubernur se-Sumatera dan disaksikan oleh empat kementerian terhadap rencana pembangunan pulau Sumatera masa depan.
Salah satu tindak lanjut dari pelaksanaan kesepakatan yang dirumuskan dalam Road Map Sumatera 2020, melalui bidang tata ruang, telah diterbitkan Perpres RTR Pulau No 13/2012 tentang lima koridor ekologi se-Sumatera dan Koridor RIMBA adalah salah satunya sebagai kawasan yang menghubungkan beberapa kawasan konservasi untuk mengakomodasi pengelolaan hasil alam (jasa ekosistem) dan keragaman hayati secara lestari yang diwakili oleh spesies langka sebagai payung antara lain harimau Sumatera, gajah Sumatera dan burung. Mengawali inisiasi pembentukan BKEH ini, WWF telah menggelar 4 kali serial kelompok diskusi terfokus (FGD). Baik di level masyarakat, SKPD kabupaten dan propinsi, private sector maupun Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di tiga propinsi sejak Oktober 2016 lalu.
Dari keempat proses tersebut, setidaknya kesimpulan sementara adalah dibutuhkannya sebuah lembaga lintas sektor untuk mengelola koridor RIMBA. Kelembagaan ini akan mengawal proses bagaimana pengelolaan landskap ekosistem koridor RIMBA dapat optimal secara ekonomi dan ramah terhadap lingkungan dengan menggunakan pendekatan ekonomi hijau. Sehingga keseimbangan tetap terjaga antara menjaga kualitas lingkungan hidup dan produktifitas ekonomi di koridor RIMBA.