MENUJU PARIWISATA YANG BERTANGGUNG JAWAB
Oleh Amkieltiela
Terletak di kawasan segitiga karang dunia (Coral Triangle), membuat Indonesia terkenal dengan kekayaan sumber daya yang menjadi magnet para wisatawan dalam negri dan mancanegara untuk berwisata. Pariwisata telah menjadi salah satu andalan menghidupkan perekonomian Indonesia selain sektor perikanan. Data WWF-Indonesia menunjukkan bahwa sektor pariwisata di Raja Ampat, Komodo dan atau Sipadan menyumbang sekitar USD 12 juta dan USD 2,4 juta melalui kegiatan perikanan. Tingginya angka ini, semakin menarik minat masyarakat untuk terus mengembangkan kegiatan wisata bahkan tidak sedikit yang beralih dari kegiatan menangkap ikan menjadi pemandu turis (tour guide) untuk mengenalkan indahnya laut Indonesia.
WWF-Indonesia berkomitmen mendukung efektivitas pengelolaan kawasan Coral Triangle sehingga dapat memberikan keuntungan bagi 120 juta orang di pesisir Indonesia dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk konservatif. Landasan pengelolaan dan bisnis kepariwisataan bahari bertanggung jawab menjadi langkah awal WWF dalam menunjukkan komitmennya. Landasan tersebut menjadi alat untuk mengukur tingkat komitmen, implementasi dan tanggung jawab penggerak kepariwisataan. Sebelumnya banyak aktivitas massive tourism menunjukkan dampak negatif, seperti karang yang rusak, perubahan perilaku species dan bertambahnya volume sampah.
Komitmen tersebut lahir dari pertemuan antara penggiat pariwisata yang terdiri dari Live-aboards, Akademisi, Restaurant, dan Tour Operator pada 5 September 2014 di Denpasar, Bali lalu. Dalam pertemuan tersebut, dibahas tentang trend kepariwisataan bahari di Indonesia, peluang dan tantangannya serta bagaimana pariwisata dapat mendukung pengelolaan kawasan konservasi Indonesia. Pertemuan lanjutan khusus untuk Trip Operator dan Tour Operator-Jaringan Kapal Pesiar Indonesia, tanggal 8 Oktober 2014 lalu yang bertajuk Responsible Marine Tourism di Hotel Grand Cemara, Jakarta dan diikuti 24 peserta. Pertemuan tersebut menghasilkan sejumlah data penting yang dibutuhkan untuk memperkuat landasan pengelolaan bisnis kepariwisataan bahari.
Dari sejumlah pertemuan yang telah digelar, sejumlah pelaku kepariwisataan menunjukkan kerja-kerja cerdas (best practices) yang telah terlaksana, dan rata-rata bertujuan untuk mendukung kelestarian alam. Namun sayangnya, tidak semua kerja cerdas tersebut terdokumentasi, atau sebaliknya tidak tertularkan ke pihak lain yang relevan.
Dari sekitar 221 anggota trip operator di Indonesia, boleh dikata hanya sekian persen yang melakukan kerja-kerja cerdas. “Tantangan terbesar kami adalah, sebagian besar anggota dari jaringan trip operator kami tidak memahami kaitan-kaitan antara kerja efisien dengan ekosistem sekitar,” jelas Brahmantya Sakti, koordinator Triptrus Indonesia.
Edukasi yang merata untuk nelayan, masyarakat, turis dan pemerintah, mendorong program yang menghubungkan antara ekonomi dan konservasi, penguatan mata pencaharian alternatif, serta pembatasan kuota yang didukung oleh pemerintah setempat menjadi cara agar pelaku kepariwisataan memahami manfaat pariwisata bertanggungjawab.