MENJAGA PENYU DI BATAS NEGERI (BAGIAN 2)
Oleh : Dwi Suprapti - Marine Species Conservation Coordinator WWF Indonesia
Sejak dulu, telur penyu asal Paloh merupakan komoditi perdagangan di Kalimantan Barat maupun di Sarawak (Malaysia). Populasinya yang melimpah menjadikan telur penyu sebagai salah satu pendapatan daerah Kabupaten Sambas dan juga merupakan wahana utama festival perang telur penyu.
Festival yang ditandai dengan saling lempar telur penyu ini umumnya diselenggarakan diawal musim puncak peneluran (bulan Mei), untuk mengekspresikan rasa syukur masyarakat setempat terhadap melimpahnya telur-telur penyu di wilayah tersebut.
Namun, akibat eksploitasi masif telur penyu yang terjadi sejak lama, maka populasinya pun menjadi sangat berkurang. Sehingga sejak tahun 2005, bersamaan dengan pencabutan regulasi Pajak Pendapatan Daerah terhadap Pelelangan Telur Penyu oleh Pemerintah Kabupaten Sambas, festival ini dihentikan.
Alasan lain penghentian kegiatan pesta rakyat dan pelelangan telur penyu oleh pemerintah daerah tersebut adalah karena dianggap bertentangan dengan perundangan dan peraturan pemerintah tentang perlindungan penyu yaitu UU No.5/1990 dan PP No.7/1999.
Pasca tahun 2005, telur penyu di Paloh kembali menjadi sumberdaya akses terbuka. Masyarakat umum sangat leluasa mengambilnya karena mayoritas bagian pesisir Paloh belum terlindungi dan hanya sebagian kecil wilayah Paloh (ca. 810,30 ha) yang telah ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam (TWA) Tanjung Belimbing, sedangkan wilayah di luar TWA ini masih belum terlindungi sehingga menjadi sasaran perburuan telur penyu sepanjang tahun.
Telur hasil perburuan ini dijual baik untuk memenuhi pasar lokal maupun lintas Negara (Malaysia). Pemburu lebih memilih menjual telur ke Malaysia karena memiliki nilai jual yang jauh lebih tinggi dengan rata-rata harga Rp. 4.300 – Rp. 5.000. Saat musim puncak peneluran, pengumpul telur dapat menghasilkan lebih dari 10 juta rupiah per malam.
Berangkat dari kondisi itu, WWF Indonesia sejak tahun 2009 hadir di Paloh membantu Pemerintah setempat melakukan program konservasi pesisir dan spesies penyu. Meskipun awalnya mendapat tantangan berat namun kerja keras WWF Indonesia berhasil menggugah kesadaran warga setempat. Bahkan, melecut semangat sebagian warga untuk memproteksi reptil langka tersebut dengan membentuk kelompok Masyarakat Pengawas atau Pokmaswas, salah satunya yakni Pokmaswas Kambau Borneo di Desa Sebubus.
Menariknya, keanggotaan Pokmaswas sebagian besar adalah mantan pemburu telur penyu yang telah insaf. Melalui upaya pendekatan, sosialisasi dan pelatihan yang diberikan hingga akhirnya sang pemburu beralih menjadi pahlawan penjaga penyu.
Tahun ini merupakan tahun ke enam, sejak 2009 WWF Indonesia berada di sana. WWF terus menerus menggencarkan edukasi pada masyarakat, mempromosikan sektor ekowisata sebagai salah satu upaya pengembangan perekonomian masyarakat, mengembangkan alternatif pendapatan bagi mantan pemburu telur penyu serta memaksimalkan peran Pokmaswas sebagai ujung tombak pelaku konservasi penyu di Paloh.
Aktivitas konservasi penyu di Paloh tak terlihat seperti halnya di wilayah peneluran penyu lainnya, yaitu penyu direlokasi ke penetasan buatan dan dibesarkan kemudian dilepaskan ke laut. Kelompok dampingan WWF Indonesia ini berjuang semampunya menjaga pantai, menetaskan telur secara alamiah hingga tukik-tukik menuju ke lautan lepas dengan sehat tanpa sentuhan manusia. Hanya cangkang telur yang menetas menjadi indikator keberhasilan konservasi yang dilakukan oleh Pokmaswas Kambau Borneo.
Tak dapat dipungkiri, meskipun belum optimal dan memerlukan dukungan banyak pihak, kehadiran Pokmaswas Kambau Borneo di Desa Sebubus Kecamatan Paloh itu, sejauh ini cukup berhasil menekan aktifitas perburuan dan perdagangan telur penyu di batas negeri ini. Mereka tak rela plasma nutfah asal Paloh ini akan punah dan berpindah ke negeri jiran yang jauh lebih menyayangi penyu. Melalui pendekatan secara persuasif, masyarakat kini mulai menyadari pentingnya menjaga keberlangsungan hidup Penyu meskipun jauh di ujung negeri. (DS).