MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT TELUK BINTUNI DALAM MENGELOLA PERIKANAN SECARA BERKELANJUTAN
Oleh: Berthi D. Arebo & Inayah
Potensi sumber daya alam Kabupaten Teluk Bintuni terutama hutan mangrove, tidak diragukan lagi tentu banyak memberikan manfaat bagi keberadaan biota bernilai ekonomi penting. Survei yang dilakukan oleh WWF-Indonesia sebagai mitra pelaksana Proyek USAID Sustainable Ecosystems Advanced (USAID SEA) pada bulan Agustus 2017 di Teluk Bintuni, mengidentifikasi tiga jenis komoditas utama perikanan yakni udang jerbung (Penaeidae), kepiting bakau (Geryonidae) dan kakap (Scianidae). Ketiganya merupakan target ekspor yang tiap tahun memberi kontribusi besar pada produksi perikanan Kabupaten Teluk Bintuni. Produksi perikanan pada tahun 2007 sebesar 2.021-ton meningkat hingga 2.869-ton pada tahun 2016 yang merupakan 46% udang, 18% kepiting dan 15% kakap.
Seiring perkembangannya, mulai muncul berbagai ancaman pada aktivitas perikanan, baik itu terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Ancaman yang nyata yaitu berkurangnya stok akibat penangkapan berlebih, terutama untuk komoditas utama. “Dulu untuk menangkap kepiting dan udang tidak begitu jauh dan tidak membutuhkan waktu yang lama di laut, tetapi sekarang sudah kebalikan. Kepiting dan udang sudah mulai dirasa berkurang hasil tangkapannya dan ukurannya pun semakin kecil,” tegas Dominggus Pigo, masyarakat Suku Kuri.
Selain itu, tekanan pun terjadi pada beberapa spesies hiu yang dulu sering tertangkap oleh nelayan, terutama jenis hiu gergaji (Pristis microdon). Para nelayan mengatakan sekarang mereka hampir tidak pernah menemukan hiu gergaji pada saat melakukan aktivitas penangkapan. Hasil identifikasi lapangan yang dilakukan oleh WWF Indonesia melalui Proyek USAID SEA, paling tidak ditemui sekitar tiga jenis hiu dalam sekali melakukan aktivitas penangkapan, salah satunya hiu martil. Sayangnya spesies yang tertangkap tersebut juga menjadi incaran untuk diperdagangkan. Ancaman lain yang dirasakan oleh masyarakat yaitu adanya aktivitas eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas yang berdampak pada batas wilayah tangkap nelayan di Teluk Bintuni.
Sejalan dengan itu, WWF-Indonesia dengan dukungan Proyek USAID SEA berupaya mendorong adanya pengelolaan perikanan dengan mengedepankan partisipasi langsung masyarakat adat. Berdasarkan isu dan permasalahan, konsep pengelolaan yang paling cocok diterapkan di Teluk Bintuni yaitu Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat Tradisional. Tentunya, konsep ini harus dilakukan secara kolaboratif dan partisipatif. Mengingat Kabupaten Teluk Bintuni memiliki tujuh suku besar yang cukup eksis (Kuri, Wamesa, Sough, Irarutu, Sebyar, Moskona dan Sumuri), dimana keberadaannya sangat berpotensi sebagai pengelola kawasan terutama dalam konteks peraturan adat.
Dalam acara Rapat Lintas Adat (28/1) perwakilan masyarakat tujuh suku besar di Teluk Bintuni menyepakati pembentukan Tim Insiaisi Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat Tradisional. Tim tersebut atau juga sebagai kelompok kerja (Pokja), akan bertaggung jawab untuk mengembangkan konsep Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat Tradisional di Teluk Bintuni. “Konsep Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat Tradisional yang akan diterapkan di Teluk Bintuni tidak lain untuk mengembangkan aturan-aturan tradisional atau adat tentang perikanan agar diterapkan secara formal dan tentunya masyarakat sendiri yang mengusulkan, menyusun, menerapkan, dan mengevaluasinya”, tambah Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Teluk Bintuni, Ahmad Anwar Bauw.
Pada implementasinya, Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat Tradisional membutuhkan Unit Pengelola yang merupakan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan telah diakui keberadaannya. Unit Pengelola ini akan bertanggung jawab untuk mengelola dan mengimplementasikan program-program pengelolaan yang termasuk dalam skema Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat Tradisional. Sejalan dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.8/MEN/2018 tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Kelola Masyarakat Hukum Adat Dalam Pemanfaatan Ruang Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, untuk mengelola ruang laut perlu adanya pengakuan terhadap MHA sebagai unit pengelolanya. Di Teluk Bintuni, Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan Terhadap Tujuh Suku Besar Teluk Bintuni saat ini dalam tahap legalisasi. Toni Urbon sebagai Tokoh Adat Teluk Bintuni mengungkapkan bahwa “Perda Pengakuan Masyarakat Hukum Adat 7 besar Teluk Bintuni telah dibahas di Biro Hukum sejak tanggal 18 Desember 2018. Ketika Perda tersebut sudah disahkan, masyarakat tujuh suku besar akan berdaulat untuk mengelola potensi pesisir dan laut,”.
Tindak Lanjut Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat Tradisional di Teluk Bintuni
Menerapkan Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat Tradisional di Teluk Bintuni, tidak semudah yang dipikirkan. Mengingat wilayah perairan Teluk Bintuni telah banyak pengelola pesisirnya dan aktivitas perikanannnya juga sudah bersifat massive, perlu dilakukan sosialisasi dan konsultasi publik yang intens agar masyarakat dan pengelola wilayah pesisir memahami dengan baik tujuan pembentukan Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat Tradisional. “Masyarakat kita di Teluk Bintuni ini cukup terbuka, jika kita selalu bertemu dengan mereka untuk menyampaikan tujuan baik, yakin mereka akan terima dan akan membantu proses demi prosesnya. Kita juga perlu duduk bersama dengan tokoh-tokoh tingkat kampung untuk meminta pendapat mereka agar konsep Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat Tradisional dapat diimplemntasikan sesuai dengan harapan,” tambah Okto Merani, salah satu Tokoh Adat di Teluk Bintuni.
Pengembangan kapasitas masyarakat sebagai pelaku atau pengguna langsung potensi perikanan juga perlu ditingkatkan, bukan hanya masyarakat lokal tetapi masyarakat non-lokal juga. “Pengelolaan perikanan yang akan diterapkan nanti harus benar-benar dipatuhi oleh seluruh masyarakat nelayan terutama yang menggunakan alat tangkap cukup moderen dan perahu yang besar-besar. Supaya ikan, udang dan kepiting masih tetap dinikmati oleh anak cucu kita nanti”, tambah Sarce Wanoy, salah satu Tokoh Perempuan Suku Wamesa. Harapannya dengan luas wilayah perairan 66.921 Ha yang dialokasikan pada Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP-3-K) Provinsi Papua Barat sebagai kawasan Konservasi, dapat dikelola dengan baik oleh masyarakat melalui konsep Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat Tradisional.