MENILAI POTENSI BYCATCH ETP PADA PERIKANAN TANGKAP DI UJUNG UTARA SULAWESI
Penulis: Wahyu Teguh Prawira (Bycatch Hook and Line Officer)
Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud merupakan dua kepulauan kecil di kawasan Sulu Sulawesi Marine Ecoregion. Kedua kepulauan ini pun sangat diuntungkan dengan letak geografis yang strategis dan berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik. Tentunya tak hanya memiliki sumber daya laut dan ikan yang beraneka ragam, hampir seluruh perairan di sekitar Sangihe dan Talaud juga menjadi habitat penting bagi siklus hidup hewan yang hampir punah, terancam, dan dilindungi (Endangered, Threatened, and Protected//ETP), khususnya penyu, dugong, lumba-lumba, dan hiu. Oleh karena itu, tak heran jika hewan-hewan tersebut sangat mudah dijumpai di perairan sekitar Sangihe dan Talaud.
Melihat besarnya potensi biota laut ETP di Kepulauan Sangihe dan Talaud, WWF-Indonesia yang dibantu oleh Universitas Sam Ratulangi, Manado (UNSRAT) melaksanakan survei pengumpulan data awal potensi dan interaksi tangkapan sampingan (bycatch) hewan laut dilindungi pada alat tangkap jaring dan pancing di kedua kepulauan ini pada bulan Maret 2016. Pengambilan data dilakukan di 27 desa pesisir yang tersebar dalam gugusan Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud. Informasi yang digali adalah seputar kapal dan alat penangkap ikan; interaksi dengan hewan ETP; target penangkapan dan kalender penangkapan ikan masyarakat setempat; serta peta penangkapan ikan. Sebanyak 60 orang responden membantu proses pengumpulan informasi ini dengan mayoritas para nelayan senior yang sudah berpengalaman selama 21-40 tahun. Data dan informasi yang didapat hasil survei awal ini nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk kajian lebih lanjut mengenai profil dan potensi perikanan di Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud.
Ada banyak informasi penting yang berhasil dikumpulkan dari hasil wawancara. Beberapa hal di antaranya adalah diketahui bahwa alat penangkap ikan yang paling banyak digunakan oleh responden adalah pancing ulur, pukat cincin, dan jaring insang yang dioperasikan menggunakan kapal kayu dengan ukuran 1-20 GT. Para nelayan setempat melaut ke daerah penangkapan ikan (fishing ground) yang masuk ke dalam wilayah Laut Pasifik. Ikan yang menjadi target tangkapan utama mereka pun bervariasi mulai dari tongkol (deho), cakalang, layang (malalugis), kembung (tude), lemuru, tenggiri, kerapu, tuna, hiu, hingga beberapa jenis ikan ekonomis lainnya. Menurut salah satu responden, nelayan di beberapa desa juga memanfaatkan penyu, hiu, lumba-lumba, dan dugong yang tertangkap secara sengaja maupun tidak disengaja. Hewan-hewan tersebut dikonsumsi dan dijual di pasar lokal maupun luar daerah.
Salah satu desa yang sering menjadi lokasi makan (feeding ground) dugong, atau dulung dalam sebutan lokal, adalah Desa Manganitu yang terletak di sebelah selatan Kota Tahuna dan Desa Bowombaru di Kepulauan Talaud. Kemunculan dugong terjadi sepanjang tahun di perairan tersebut, tetapi ada waktu tertentu yang merupakan musim puncak kemunculan dugong. Terkait dengan pemanfaatan dugong, salah satu desa di Pulau Nusa Tabukan, yang termasuk dalam jajaran Kepulauan Sangihe mayoritas penduduknya adalah nelayan dengan kemampuan menangkap dugong dengan alat khusus. Masyarakat di Nusa Tabukan memiliki kepercayaan terhadap air mata duyung yang diyakini memiliki beberapa khasiat tertentu.
Melalui survei awal yang dilakukan selama 12 hari tersebut, ditemukan adanya indikasi pemanfaatan hewan laut dilindungi yang terdiri dari penyu, hiu, lumba-lumba, dan dugong. Walaupun begitu, hewan ETP yang tertangkap secara sengaja maupun tidak disengaja jumlahnya tidak terlalu besar, jika dibandingkan dengan jumlah armada penangkapan ikan yang ada di Kepulauan Talaud dan Kepulauan Sangihe. Pemanfaatan hewan-hewan ETP inilah yang kemudian yang menjadi salah satu perhatian Tim Bycatch WWF-Indonesia, terutama untuk wilayah Kepulauan Sangihe dan Talaud.
Di sisi lain, ada desa yang memiliki budaya yang dalam bahasa setempat disebut dengan EHA. EHA merupakan kearifan lokal di Desa Karokotan yang mengatur tentang tata cara pemanfaatan sumber daya laut, seperti penerapan sistem buka tutup daerah penangkapan ikan, mirip dengan sistem Sasi di daerah Maluku. (Baca juga #XPDCMBD: Sasi, Kearifan Lokal Pengelolaan & Pemanfaatan Sumber Daya Laut) Dua daerah yang ditentukan sebagai daerah pemanfaatan ikan, salah satunya ditutup dalam beberapa waktu tertentu. EHA berjalan secara periodik dan terus-menerus di lokasi yang telah ditentukan, sehingga daerah pemanfaatannya pun bergilir. Selain itu, EHA yang tertuang dalam Peraturan Desa (Perdes) juga mengatur tentang larangan menangkap hewan laut dilindungi, khususnya penyu dan dugong. Jika kearifan lokal ini terus dipegang teguh oleh masyarakat, akan sangat membantu pelestarian hewan-hewan ETP di wilayah sekitar.