MENGENAL WISATA INTERAKSI HIU PAUS YANG BENAR
Oleh: Novita Dyah Forentina
Hiu paus (Rhincodon typus) atau hiu tutul merupakan jenis ikan terbesar di dunia, ukurannya bisa mencapai lebih dari 18 meter dengan bobot bisa mencapai 34 ton. Ikan ini berkepala lebar dan gepeng dengan mulut, insang dan sirip punggung berukuran besar. Pola totol putih di tubuh ikan hiu paus yang unik ini dapat digunakan sebagai dasar dalam mengenali satu individu.
Hiu Paus yang Berada di Perairan Talisayan, Berau
Kemunculan hiu paus pertama kali diketahui oleh nelayan di sekitar perairan Talisayan, Kabupaten Berau pada tahun 1990an saat sedang menjaring ikan. Spesies besar ini dikenal dengan sebutan karitan tok’ke oleh masyarakat sekitar. Frekuensi kemunculan hiu paus semakin sering sejalan dengan semakin maraknya penggunaan alat tangkap bagan oleh nelayan di perairan Talisayan dan Derawan pada periode tahun 2010an sampai dengan saat ini. Hiu paus beredar di sekitar area tersebut dikarenakan ketersediaan pangan alaminya yang berupa udang kecil, ikan kecil, dan zooplankton, yang banyak tersedia di perairan yang dipenuhi oleh alat tangkap bagan tersebut. Berdasarkan pendataan populasi hiu paus dengan metode foto identifikasi hiu paus (photo ID whaleshark) yang dilakukan oleh Yayasan WWF Indonesia, Dinas Perikanan Kabupaten Berau dan Whale Shark Indonesia pada tahun 2014-2022 di Perairan Berau, jumlah individu hiu paus yang pernah ditemukan tercatat sebanyak 98 individu dengan dominan ukuran 5 – 7 meter yang merupakan ukuran usia remaja.
Dengan adanya hiu paus yang kerap muncul di perairan Berau ini, sontak saja menjadi salah satu objek wisata minat khusus baru yang digandrungi oleh para wisatawan. Sayangnya, para pelaku wisata ini belum berupaya maksimal dalam menerapkan standar operasional berinteraksi dengan hiu paus, bahkan bisa berpotensi mengancam habitat dan spesies yang dilindungi penuh ini — berdasar pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2013.
Beberapa ancaman yang memengaruhi hiu paus di Kabupaten Berau ini, tentu bukan hanya dari aktivitas pariwisata saja. Salah satu ancamannya juga berasal dari pencemaran air seperti sampah plastik yang ditemukan pada habitat hiu paus. Karena, hiu paus berenang sambil menyedot air dan memakan mangsa yang terbawa air melalui insangnya. Sehingga hal ini memungkinkan sampah plastik tersebut tidak sengaja tersedot oleh hiu paus. Kemudian, dengan adanya aktivitas perikanan yang semakin meningkat di sekitar habitat ikan hiu paus ini, memungkinkan hiu paus dapat terjerat jaring ikan. Beberapa hiu paus ditemukan dengan luka di bagian sirip maupun ekornya, diduga karena gesekan dengan bagan maupun perahu nelayan. Beruntungnya, hiu paus memiliki kemampuan untuk memulihkan kondisinya jika luka yang dialami tersebut tergolong ringan.
Pendataan Hiu Paus Melalui Photo ID Whaleshark di Perairan Talisayan, Kabupaten Berau
Dengan kemungkinan ancaman yang terjadi—di perairan Kabupaten Berau dan juga perairan lainnya yang merupakan habitat hiu paus di Indonesia—, Pemerintah Indonesia menerbitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Konservasi Hiu Paus tahun 2021-2025. Adapun upaya pokok rencana aksi ini terdiri dari 3 hal diantaranya upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan non-ekstraktif yang bertanggung jawab dan berkelanjutan pada hiu paus. Namun demikian, Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi Hiu Paus ini juga belum banyak diketahui oleh masyarakat di Indonesia, khususnya masyarakat Talisayan dan Pulau Derawan yang intens berinteraksi dengan hiu paus di Perairan Kabupaten Berau.
Yayasan WWF Indonesia melalui EU Ocean Governance Project berkolaborasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kalimantan Timur, Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak, serta Dinas Perikanan Kabupaten Berau mengadakan sosialisasi mengenai Rencana Aksi Nasional Konservasi Hiu Paus dan pelatihan Better Management Practice (BMP) Panduan Teknis Pemantauan dan Praktik Wisata yang Baik Edisi Interaksi dengan Hiu Paus pada bulan Juni 2022. Kegiatan ini dihadiri oleh 45 orang peserta yang terdiri dari kelompok pemandu wisata, pemilik bagan, Pokdarwis, Pokmaswas, nelayan, dan pemerintah kampung, bertempat di Kecamatan Talisayan, Kabupaten Berau.
Peserta Dalam Diskusi Terarah Terkait Kode Etik Berinteraksi dengan Hiu Paus
Rahmat Setyawan selaku Kepala Kampung Talisayan sekaligus peserta dalam kegiatan sosialisasi dan pelatihan ini menuturkan, “Dengan adanya pelatihan ini, nelayan atau pemandu diharapkan dapat melanjutkan edukasi kepada wisatawan yang berkunjung ke hiu tutul, sehingga keberlangsungannya bisa terjaga”.
Praktik-praktik terbaik yang bisa dilakukan ketika berinteraksi dengan hiu paus ini, diantaranya para pelaku wisata dapat melakukan aktivitas pariwisata yang dapat menguntungkan namun tetap memenuhi standar keselamatan pelanggan; meminimalisir dampak terhadap spesies-spesies target dan habitatnya melalui penerapan code of conduct (kode etik) yang sesuai; membangun hubungan baik dengan masyarakat lokal; serta memiliki budaya yang selalu memperbaiki diri dan taat kepada peraturan.
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan ketika berinteraksi dengan hiu paus diantaranya: Kapal harus mengurangi kecepatan, maksimum 10 knot dalam 1 km dan 2 knot dalam jarak jarak 50 m dari bagan dengan hiu paus; Mesin kapal dalam keadaan mati dengan maksimal 4 kapal di 1 bagan; Jumlah maksimal snorkeler di dalam air adalah 6 orang dalam 1 grup dengan interaksi maksimal 15 menit; Pemandu berperan sebagai pemimpin turun pertama kali diikuti para wisatawan dengan tenang tanpa melompat; Jumlah wisatawan maksimal dalam satu bagan tiap harinya adalah 40 snorkeler; Pergantian group diatur melalui koordinasi antar pemandu dengan mempertimbangkan seluruh jumlah maksimal snorkeler dan durasi maksimal berwisata; Wisatawan dilarang menggunakan strobe atau flash saat menggunakan kamera, dilarang melakukan provokasi, mengeluarkan suara keras, melakukan gerakan mendadak, menyentuh/mengejar/menunggangi hiu paus, memberi makan hiu paus, maupun membuang sampah di laut; Snorkeler harus segera berenang kembali menuju perahu sesuai dengan durasi kunjungan; Pemandu menjadi snorkeler terakhir yang naik ke perahu.
“Saya secara pribadi juga baru tahu bahwa salah satu praktik terbaik dalam berinteraksi dengan hiu paus ini, khususnya meminimalisir dampak gangguan terhadap habitat dan ikannya yaitu tidak boleh memancing pada pagi hari, dimana saat itu merupakan waktunya hiu tutul lebih banyak beraktivitas di sekitar bagan” imbuh Rahmat.