MENGAPA HUTAN DAN PEKARANGAN SEANTERO NUSANTARA KIAN SUNYI SATWA?
Oleh: Sunarto
Tleguk……………………………………………………..tleguk…tleguk…………..tleguk…………….tleguk………………………tleguk……….tleguk……tleguk …tleguk……….tleguk …ttleguk..tleguktlegukteguktleguk tlegukguk gukgukgukgukuku....KA KA Ka Ka Ka Ka Ka Ka…….
Begitulah kira-kira suara burung dengan irama khas enggang gading (Rhinoplax vigil). Iramanya berawal dengan suara sayup-sayup perlahan dan kemudian meningkat tempo dan nadanya. Nada mencapai klimaks dengan suara laksana tawa terbahak yang memecah kesunyian Rimba. Suara itu biasa terdengar dari puncak-puncak kanopi hutan Sumatera dan Kalimantan. Dialah salah satu dari 14 jenis burung famili Bucerotidae (termasuk enggang, rangkong, julang dan kangkareng) yang hidup di wilayah Indonesia.
Suara enggang gading dan beragam jenis burung dan satwa lain cukup akrab di telinga para penempuh rimba nusantara. Selain enggang gading, setiap jenis burung dari famili Bucerotidae memiliki suara, habitat kesukaan dan perilaku khas masing-masing. Rangkong badak (Buceros rhinoceros) yang menghuni hutan primer sering terlihat berpasangan jantan-betina dan mengunjungi pepohonan buah hutan yang menjulang tinggi. Burung berparuh merah menjulang seperti cula badak itu mudah diketahui keberadaannya karena suara keras menyalak “GWAK….GWAK….GWAK” yang biasa dikeluarkan saat bertengger atau terbang. Sementara jenis-jenis enggang yang berbadan kecil seperti enggang klihingan (Anorrhinus galeritus) umumnya hidup berkelompok di hutan-hutan sekunder dan kerap mengeluarkan suara bersahutan.
Menurut ahli rangkong dunia Yok Yok Hadiprakarsa, Indonesia menempati posisi sebagai negara terpenting untuk konservasi rangkong di dunia. Itu selain karena dari banyaknya jumlah jenis termasuk jenis endemik yang kita miliki, terlebih juga karena luasnya habitat yang tersedia di negeri kita bagi burung penyebar biji yang mendapat julukan petani hutan itu.
Selain suaranya yang unik, rangkong yang berbadan besar dan bersayap lebar hingga mencapai 1.5 meter pada rangkong papan (Buceros bicornis), juga mengeluarkan bunyi kepakan sayap khas “WHUSS WHUSS WHUSSSSSSS” saat terbang atau melayang berpindah dari satu pucuk ke pucuk kanopi lainnya.
Sepi Satwa
Hutan tropis Indonesia yang sehat biasanya diramaikan dan diwarnai oleh beragam tingkah dan polah satwa yang hidup di dalamnya. Rangkong merupakan salah satu ciri khasnya. Namun itu bukan satu-satunya. Saat pagi belum merekahpun, berbagai jenis primata seperti owa (Hylobates sp), siamang (Symphalangus syndactylus) dan beberapa jenis primata sudah mulai aktivitasnya dengan lengkingan-lengkingan khasnya. Sementara itu, berbagai jenis burung sibuk berkicau menandai wilayah teritorinya.
Kelangsungan hidup satwaliar tidak dapat dipisahkan dari keberadaan hutan. Begitu juga sebaliknya, hutan memerlukan satwa untuk merawat tetumbuhan melalui penyebaran biji-bijian dari buah yang mereka makan, pemupukan dari kotoran yang mereka keluarkan, pemangkasan oleh herbivora, dan berbagai peran penting lainnya.
Namun, akhir-akhir ini beragam suara burung dan satwa penghuni yang biasa meramaikan suasana hutan-hutan di seantero tanah air, perlahan namun pasti jadi senyap. Hal itu nyata saya rasakan di beberapa lokasi yang saya kunjungi dalam beberapa bulan terakhir. Tidak terkecuali di salah satu tempat favorit saya, kawasan hutan Suaka Margasatwa Rimbang Baling di Riau. Hampir seminggu saya menjelajahi kawasan ini di akhir tahun 2015 bersama tim monitoring satwa WWF-KemenLHK, tidak satupun rangkong besar yang terdengar. Begitupun jenis-jenis burung berkicau yang biasa meramaikan suasana hutan.
Dalam trip kali itu hanya segelintir yang menunjukkan eksistensinya. Yang lain entah memang sudah lenyap akibat penangkapan tak terkontrol, atau memilih diam dan bersembunyi demi keselamatannya terhindar dari pemburu satwa. Akibatnya, dalam trip itu, binokuler yang saya bawa lebih banyak hanya tergantung di leher atau tersimpan di dalam ransel.
Ketika keluar dari rimba, saya penasaran dengan situasi semakin sunyinya hutan-hutan yang baru saya rasakan. Terlebih, tak lama setelah menjelajah Rimbang Baling, saya mendapat undangan untuk berkunjung ke Assam, India. Alangkah kontrasnya, di sana saya mendapat suguhan satwa yang tidak hanya berlimpah, namun juga mudah dilihat. Itu terjadi tak hanya di kawasan lindung seperti Taman Nasional Kaziranga, namun juga di sepanjang perjalanan dari bandara hingga di setiap pekarangan warga. Justru warga yang sepertinya melihat saya aneh ketika saya mengarahkan binokuler saya ke burung-burung yang tak tampak takut manusia yang ada di sekitar pekarangan. Di sana, tak satupun saya melihat warga yang memelihara satwa. Semuanya bebas terbang atau berkeliaran. Baru belakangan saya tahu, India rupanya sudah lama menerapkan prinsip dan hukum yang menyatakan bahwa semua jenis satwaliar tidak boleh diganggu. Aturan itu tampaknya telah mendarah daging dan menjadi kebiasaan sebagian besar kalau tidak semua warganya untuk membiarkan dan tidak mengganggu satwa.
Tak tahan, saya langsung berbagi pengalaman melalui media sosial tentang hutan dan pekarangan kita yang makin sepi satwa. Tak disangka, keluhan saya langsung ditanggapi banyak rekan, khususnya pengamat burung, dari berbagai sudut nusantara yang juga mengkonfirmasi hal serupa yang mereka rasakan. Tak dapat dipungkiri, kita bukan hanya telah banyak kehilangan hutan akibat konversi dan perambahan besar-besaran. Hutan yang tersisa pun kini semakin sunyi. Seperti dikonfirmasi oleh rekan saya, hal ini terjadi tak hanya di Sumatera, tetapi juga Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua.
Apa yang menyebabkan rimba dan segenap ruang terbuka hijau nusantara kian sunyi dari satwa? Sulit dipungkiri, perburuan satwa yang tak terkendali adalah penyebab utamanya. Hasil monitoring di berbagai tempat menunjukkan makin tingginya aktivitas perburuan satwa, khususnya burung kicauan.Hal itu juga terbukti dari foto-foto camera trap dari berbagai wilayah yang cukup banyak didominasi para pemburu dan pemikat burung. Di desa-desa pinggir hutanpun dapat kita saksikan hampir setiap rumah memiliki sangkar-sangkar berisi burung-burung berkicau maupun tidak berkicau.
Belum lagi kalau kita kunjungi pasar burung tradisional seperti Pramuka,Barito dan Jatinegar. dan juga lapak-lapak online. Seperti yang dilaporkan TRAFFIC, dalam tiga hari saja tim survei dapat menghitung lebih dari 19000 ekor burung dari lebih 200 jenis yang diperdagangkan di tiga pasar tersebut. Sangat marak sekali peredaran satwa di Indonesia. Brigjen Yazid Fanani, Direktur Kriminal Khusus POLRI menyebut bahwa Indonesia merupakan negara nomor satu di Asia Tenggara dalam hal perdagangan [illegal] satwaliar.
Tampak jelas bahwa perburuan satwa telah menjadi bisnis yang melibatkan jaringan yang luas. Menurut Pangeran William yang kini menjadi salah satu champion konservasi satwa, perdagangan satwa transnasional merupakan salah satu bisnis illegal paling besar yang hampir setara dengan peredaran narkoba, senjata dan perdagangan manusia. Dengan modal yang biasanya disediakan oleh para cukong di kota, para pemburu satwa telah semakin canggih dalam memanfaatkan beragam teknologi, yang membuat satwa tidak bisa banyak berkutik menghindar dari pikatan dan jebakan. Mulai dari pemutar musik dengan sound system bening dengan rekaman suara khusus pemanggil burung, alat penentu lokasi/GPS, galah portable yang dapat dilipat, hingga jaring kabut dan senapan angin berkekuatatan super yang yang mustinya penggunaannya dibatasi dan diatur, kesemuanya seperti bebas diperoleh dan digunakan oleh pemburu dan pemikat burung.
Burung dan satwa bukan hanya hilang atau diam oleh perburuan yang tidak terkontrol. Mereka juga kian terdesak dan terancam oleh makin tingginya gangguan dari beragam aktivitias manusia seperti pembalakan dan pengambilan hasil hutan lainnya yang terus merangsek ke setiap sudut rimba raya yang aksesnya kini makin terbuka. Di seantero nusantara, khususnya Sumatera dan Kalimantan, kini hampir tak ada lagi wilayah hutan yang tidak didatangi pemburu, penebang kayu dan pemetik hasil hutan. Dibanding suara satwa, deru gergaji mesin kini jauh lebih sering terdengar dan dominan di rimba raya nusantara.
Mendadak Kritis
Beberapa faktor turut mendorong tingginya intensitas perburuan satwa. Kebiasaan memelihara satwaliar untuk hiburan atau memajang bagian tubuhnya sebagai ornamen yang tidak mempedulikan status dan asal-usul satwanya,serta pemenuhan kebutuhan protein dan bahan obat-obatan tradisional merupakan beberapa hal yang memicu tingginya permintaan pasar yang mendorong perburuan satwaliar di alam.
Perburuan enggang gading, misalnya, tejadi akibat permintaan pasar gelap terhadap balung (casque) di bagian atas paruh burung tersebut. Balung tersebut diperjual-belikan lantaran dapat diukir untuk hiasan seperti halnya gading gajah atau dijadikan bahan ramuan obat tradisional Tiongkok. Perburuan besar-besaran untuk konsumsi juga terjadi pada beragam jenis lain seperti trenggiling.
Menurut catatan Rangkong Indonesia, perburuan satwa ini mulai terlihat marak sejak sekitar tahun 2012. Seperti dilansir dalam IUCN Redlist, dari satu propinsi saja, yakni Kalimantan Barat, tercatat sekitar 6000 ekor rangkong gading menjadi sasaran pemanenan secara illegal pertahunnya. Maka tak heran, satwa ini seperti langsung menghilang dan kemungkinan telah mengalami kepunahan di banyak tempat. Yang lebih menyedihkan, korban perburuan tidak hanya enggang gading saja. Itu karena banyak pemburu yang salah mengenali targetnya dan asal tembak saja setiap rangkong yang terlihat.
Mempertimbangkan fenomena tersebut, pada pertengahan 2015, BirdLife International melakukan telaah status konservasi satwa tersebut berdasarkan kriteria IUCN yang menghasilkan peningkatan statusnya dari dari “Hampir Terancam” atau “Near Threatened” yang ditetapkan tahun 2012, mendadak lompat tiga tingkat menjadi “Kritis” atau “Critically Endangered” di tahun 2015. Status ini setara dengan yang disandang beberapa satwa besar ikonik dan langka di Indonesia seperti Harimau Sumatera, Badak, Orangutan Sumatera, dan Gajah Sumatera yang kondisinya telah lama dikenal sangat terancam.
Enggang gading bukanlah satu-satunya korban eksploitasi berlebih dan tidak terkontrol. Sebelumnya telah marak perburuan satwaliar dilindungi lain khususnya jenis-jenis burung berkicau, kura-kura, dan trenggiling.
Kesadaran dan tindakan
Perburuan sudah sampai tahap kritis dan telah menyebabkan kepunahan lokal beberapa jenis burung berkicau di alam. Akibat maraknya perburuan yang tidak terkontrol di wilayah yang memiliki endemisitas tinggi, Indonesia kini berada di papan teratas di antara negara yang memiliki jenis burung terancam punah terbanyak, sejumlah 131 jenis, di Asia. Perburuan burung berkicau didorong oleh permintaan pasar yang tinggi. Budaya memelihara burung kicauan yang telah mengakar kuat dan terus didorong melalui berbagai kegiatan perlombaan tanpa diimbangi dengan kepedulian pada kondisi satwa di alam. Jika dibiarkan, kepunahan massal satwa kita telah di depan mata. Budaya cinta satwa seharusnya kita pupuk dan kembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Tanpa kepedulian pada kondisi alam terkini, bukan hanya burung dan satwaliar yang terancam oleh eksploitasi berlebih yang kita lakukan.
Hutan, yang sangat dibutuhkan untuk kelangsungan ekosistem bumi, akan kehilangan perawatnya. Pada akhirnya, manusiapun perlahan namun pasti akan kehilangan penyangga kehidupannya.
Kesadaran kolektif, perubahan perilaku, serta tindakan restoratif perlu segera dimarakkan untuk mencegah terjadinya kekosongan kehidupan yang sedang kita tuju. Kesunyian hutan, kebun dan pekarangan kita dari kicauan burung dan gerak-gerik satwaliar adalah peringatan menggelegar bagi mereka yang masih memiliki kepekaan ekologis agar kita semua mulai mempedulikan alam, di mana diri kita tercakup di dalamnya.