MEMATA-MATAI "MBAH KUMIS" DI PERBUKITAN KAUR
Perjalanan kami pagi ini dimulai pukul 08.00 dari Bintuhan, Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu menuju Desa Tri Jaya, lokasi pertama untuk melaksanakan kegiatan kali ini. Sepanjang perjalanan, kami disuguhkan pemandangan pepohonan karet kiri-kanan. Terkadang melewati beberapa perkebunan sawit dan pisang. Sesekali juga melihat semak-semak dan deretan puncak-puncak bukit seberang. Jalanan tanah berliku dengan medan kanan-kiri jurang membuat akses ke Desa Tri Jaya cukup sulit untuk dijangkau dengan kendaraan biasa. Desa ini memiliki ketinggian lokasi 100 – 300 mdpl dengan kontur perbukitan napal yang bergelombang dan menebing vertikal seperti ngarai pada bagian-bagian tertentu. Selain itu, desa ini juga dilalui oleh sungai-sungai besar yaitu sungai menula dan sungai kulik besar, yang mana sebagian besar dinding sungainya berkarakter seperti ngarai.
Berdasarkan lokasinya terhadap TNBBS, Desa Tri Jaya sendiri berperan sebagai salah satu desa penyangga kawasan Taman Nasional. Jaraknya yang bersanding dengan habitat satwa liar, membuat desa ini rentan dan memiliki riwayat konflik dengan satwa liar. Salah satunya adalah harimau sumatera atau masyarakat desa setempat biasa menyebutnya “Mbah Kumis”.
Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) adalah salah satu satwa penyeimbang ekosistem yang status keberadaannya terancam punah (Critically Endangered) menurut data The IUCN Red List of Threatened Species 2015. Dalam ekosistem, Harimau Sumatera merupakan spesies payung, yaitu spesies yang memiliki daerah jelajah sangat luas sehingga bila habitat yang menjadi daerah jelajahnya terjaga dengan baik, satwa dan makhluk lain yang ada di dalamnya dapat terjaga dengan baik pula.
Konflik manusia dan harimau pernah terjadi di desa ini. Umumnya, konflik manusia dan satwa sulit diprediksi kapan dan dimana akan terjadi. Sehingga, perlu untuk mempelajari perilaku alami harimau, data sebaran dan penggunaan ruang oleh harimau, data riwayat konflik yang pernah terjadi, wilayah aktivitas manusia, pola beternak masyarakat, serta perburuan satwa mangsa dan kondisi topografi. Dengan begitu, kita dapat memperkirakan lokasi yang memiliki potensi tinggi dimana konflik akan terjadi.
Dalam upaya menyelamatkan Harimau Sumatra, serta mengurangi konflik manusia dan harimau, Tim WWF melakukan pemasangan camera trap (kamera jebak) di dua desa dampingan, yaitu, Desa Tri Jaya dan Desa Sinar Banten. Camera trap merupakan perangkat optik otomatis yang mampu memberikan informasi dalam bentuk visual maupun audio-visual. Kamera ini sesuai untuk pengamatan terhadap satwa liar yang pemalu dan susah dijumpai secara langsung. Penggunaan kamera jebak juga sesuai untuk lokasi pengamatan yang sangat terpencil dan susah diakses.
Sebelumnya, pada tahun 2018, pemasangan kamera jebak telah dilakukan di kedua desa tersebut. Sayangnya, dokumentasi visual mengenai keberadaan harimau sumatera di kedua desa tersebut belum didapatkan. Meskipun begitu, tanda-tanda keberadaannya berupa jejak dan laporan pertemuan oleh masyarakat masih terus ditemukan. Sebagai tindaklanjut dari monitoring keberadaan harimau tersebut, Tim WWF melakukan pengumpulan informasi tentang keberadaan harimau sumatera yang dilakukan pada tanggal 13 – 20 agustus 2019, dimana menurut informasi masyarakat, terdapat lokasi-lokasi yang kemungkinan besar merupakan wilayah jelajah maupun jalur lintasan harimau sumatra di Desa Trijaya dan Sinar Banten. Berdasarkan informasi tersebut, pemasangan 14 unit kamera jebak dilaksanakan kembali pada oktober 2019, tiga unit dipasang di Desa Sinar Banten dan 11 unit di Desa Trijaya.
Setelah pemasangan selama 3 bulan, Januari 2020 lalu Tim WWF mengambil kembali camera trap tersebut untuk diidentifikasi. Sesampainya di kediaman Kepala Desa Tri Jaya, Tim WWF bersama beberapa warga bersiap untuk melakukan perjalanan pengambilan camera trap. Lokasinya tak jauh. Hanya beberapa menit menggunakan motor, yang kemudian dilanjutkan berjalan kaki sekitar setengah jam. Cuaca seketika berubah mendung, setelah memarkir motor di antara perkebunan karet milik warga, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Melewati kebun-kebun warga dengan berbagai jenis vegetasi dan bermacam kelerengan medan.
Setengah jam kami berjalan menyusuri perkebunan karet dan lada sembari menapaki jalanan yang naik turun. Setelah cukup lama menerabas semak belukar dan jalanan menurun bukit, akhirnya kami sampai di lokasi pengambilan camera trap yang pertama. Lokasinya cukup ekstrem, berada di pinggir sebuah sungai kecil sebuah lembah.
Dalam pemasangan camera trap, tidak dapat dilakukan sembarangan. Biasanya, kamera dipasang pada lokasi yang mempunyai peluang tertinggi untuk dapat mendokumentasikan keberadaan satwa target. Lokasi yang dipilih juga sebaiknya mempertimbangkan jalur lintasan satwa, jalan setapak yang menghubungkan desa dan hutan terdekat, atau jalan bekas penebangan yang sudah tidak aktif, keberadaan sumber air, serta belukar yang cukup rapat.
Selesai pengambilan camera trap pertama, kami melanjutkan perjalanan pulang sekaligus mengambil kamera kedua yang jaraknya tak jauh. Karena penyebaran kamera jebak yang cukup berjauhan, Tim WWF melakukan pembagian waktu dan penyebaran kelompok dalam pengambilannya.
Setelah semua kamera terambil, tim WWF melakukan pengolahan dan analisa data. Hasil analisa kamera jebak, telah teridentifikasi 29 spesies satwa liar yang berasal dari 3 kelas, yaitu kelas mamalia sebanyak 19 spesies, jelas aves sebanyak sembilan spesies dan kelas reptilia sebanyak satu spesies. Monyet beruk dan babi hutan adalah satwa dominan yang tertangkap oleh kamera. Sayangnya, untuk dokumentasi visual harimau sumatra masih belum ditemukan. Padahal, kamera jebak telah dipasang pada lokasi – lokasi yang menurut masyarakat dan survei langsung sesuai dengan habitat dan jalur lintasan harimau. Fakta bahwa kelimpahan babi hutan pada kedua desa ini menunjukan bahwa kemungkinan besar, predator puncak, yaitu harimau Sumatra telah absen pada ekosistem ini. Sehingga jumlahnya melimpah dan menjadi hama bagi masyarakat.
Kemungkinan lain, kawasan tersebut bukanlah ruang jelajah tetap melainkan hanya jalur lintasan pada saat-saat tertentu untuk mencari makan, sehingga pertemuan masyarakat dengan harimau terjadi hanya pada waktu – waktu tertentu saja. Atau bisa saja masyarakat salah mengidentifikasi harimau dengan kucing besar lainnya seperti macan dahan. Karena berdasarkan survei langsung, habitat ini telah rusak akibat pembukaan lahan dan alih fungsi menjadi perkebunan sawit atau kebun masyarakat.
Pelestarian habitat harimau sumatra sangat perlu dilakukan. Tidak hanya untuk menekan konflik manusia dan satwa liar, namun untuk menjaga keseimbangan alam dalam bekerja. Untuk itu, WWF Indonesia terus berjuang menyelamatkan harimau sumatra melalui pemberdayaan masyarakat, sosialiasi dan pendidikan. Semata-mata demi mewujudkan hubungan yang harmonis antara manusia dan satwa.