MAHOUT, SOSOK PARTNER GAJAH DALAM TIM PATROLI GAJAH ELEPHANT FLYING SQUAD
Oleh: Natalia Trita Agnika
“Biasanya kami lewat daerah patroli banyak dengar suara burung atau satwa lain. Sekarang sudah dengar suara mesin chainsaw (gergaji mesin -Red),” kisah Erwin Daulay suatu siang mengeluhkan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo yang sudah mulai dimasuki oleh pelaku illegal logging. Lelaki yang sudah menjadi mahout sejak 1990 ini adalah salah satu dari 10 mahout/pawang gajah yang bertugas di Taman Nasional Tesso Nilo.
Bersama mahout lainnya, Erwin bertugas merawat, mengasuh, melatih, dan berpatroli bersama gajah latih di Tim Patroli Gajah atau Elephant Flying Squad. Tim yang diperkenalkan oleh WWF-Indonesia dan Balai Taman Nasional Tesso Nilo sejak 2004 ini bertugas melakukan penggiringan gajah liar yang memasuki kebun masyarakat untuk kembali ke habitatnya di Taman Nasional Tesso Nilo sehingga dapat mengurangi konflik antara gajah dan manusia.
Kesepuluh mahout yang bertugas di Taman Nasional Tesso Nilo itu adalah Ruswanto, Erwin Daulay, Fikri Pohan, Junjung Daulay, Adrianto, Tengku Asril, Sari Tua, Herianto, Rozi Nurbit, dan Bagus Prayudi. Mahout adalah istilah yang digunakan secara internasional untuk pawang atau perawat gajah. Seorang mahout tidak hanya bertugas sebagai pengasuh dan perawat dengan memberi makan, memandikan, serta melatih gajah. Sehari-hari, mereka juga memantau kesehatan gajah.
Untuk menjadi mahout, mereka harus menjalani pelatihan khusus dan tidak bisa langsung memegang gajah. Sebelumnya ada tahapan pendekatan dan pengenalan suara atau jenis gajahnya. Selain itu, mereka juga mendapatkan pelatihan teknis terkait tugas patroli yang akan mereka lakukan. “(Kami dilatih) penggiringan gajah liar, pembuatan meriam karbit, dan membedakan tingkah laku gajah betina dan jantan,” tutur Rozi Nurbit, mahout yang pernah disengat tawon saat sedang bertugas di hutan.
Hubungan akrab dan jalinan emosi yang kuat antara mahout dan gajah yang dirawatnya dapat membuat tugas patroli berjalan lancar. Tim Elephant Flying Squad secara rutin, dua kali dalam seminggu, berpatroli ke daerah yang berbatasan dengan Taman Nasional Tesso Nilo. Saat berpatroli, mahout dan gajahnya akan mengidentifikasi tanda-tanda keberadaan gajah liar sehingga upaya pengusiran/penggiringan ke hutan dapat dilakukan lebih awal. Tak hanya itu, Tengku Asril menjelaskan bahwa saat berpatroli, mahout juga memantau keberadaan illegal logging dan titik api. Saat berjumpa dengan satwa lain, seperti tapir, rusa, dll, mereka akan mencatatnya.
Bertugas bersama Tim Patroli Gajah memberikan kebanggaan tersendiri bagi para mahout. “Ketika tim berhasil melaksanakan tugas dengan baik, kerja keras itu membuat kebanggaan dan semangat buat tugas-tugas selanjutnya menyelamatkan gajah dari konflik antara manusia dan gajah. Tugas mulia melindungi satwa langka ini tentunya membuat tim terus berupaya semaksimal mungkin demi melindungi gajah dan satwa-satwa lain,” tutur Bagus Prayudi dengan bangga.
Terlebih, tugas yang mereka lakukan tak mudah. Ada kalanya nyawa mereka terancam saat berhadapan dengan gajah liar yang akan digiring. Sebuah pengalaman tak terlupakan dialami oleh Adrianto. Lelaki yang sudah menjadi mahout sejak 2008 ini diselamatkan oleh gajah yang telah dirawatnya sejak pertama ia menjadi mahout. “Saya berterima kasih banyak kepada gajah Ria yang telah menyelamatkan hidup saya dengan menghadangkan badannya untuk menyelamatkan saya dari serangan gajah liar,” kenangnya. Kini Adrianto menjadi mahout bagi Tesso, anak dari gajah Ria.
Kawanan gajah liar juga pernah menghancurkan camp para mahout 2001 silam. Fikri Pohan menuturkan bahwa saat camp dalam keadaan kosong, sekawanan gajah liar melintas dan menghancurkan camp. Semua perbekalan makanan pun habis dimakan gajah liar. “Pakaian cuma tinggal yang di badan,” terang ayah satu anak ini.
Namun kecintaan pada satwa karismatik ini membuat para mahout tetap bersemangat menjalankan tugasnya. Bahkan Herianto mengaku sudah memiliki kecintaan terhadap gajah sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Mereka peduli pada nasib Gajah Sumatera. “Gajah kan juga ciptaan Tuhan yang harus dijaga dan dilestarikan,” tutur Rozi Nurbit. Tengku Asril yang mengaku bekerja dari hati merasa bahwa pekerjaan seorang mahout adalah tugas yang mulia, apalagi sedari kecil ia sudah sering bertemu gajah liar ketika ayahnya menjadi petani.
Para partner gajah dalam Tim Patroli Gajah ini adalah sosok yang tahu betul bagaimana kondisi di habitat alami Gajah Sumatera. Mereka memiliki harapan yang sama agar semua pihak menjaga habitat alami Gajah Sumatera. “Semoga pemerintah dan masyarakat bisa bekerja sama untuk menjaga dan melindungi Gajah Sumatera,” harap Adrianto. Oleh karena itu, tindakan tegas perlu dilakukan. Pihak yang menangani dan menindak illegal logging dan perambahan hutan harus lebih tegas agar hutan tak lagi terkikis. Jangan sampai Taman Nasional Tesso Nilo, Gajah Sumatera, dan satwa liar yang tinggal di dalamnya hanya menjadi dongeng pada tahun-tahun mendatang.