LOMBOK SERING MENGALAMI "ANOMALI" IKLIM
JAKARTA - Pulau Lombok kini menjadi pusat perhatian karena kondisi lingkungannya yang tidak stabil. Pulau dengan luas lebih dari 4.700 kilometer persegi dan jumlah populasi sekitar 4 juta jiwa ini kerap mengalami cuaca ekstrem, dari kekeringan hingga banjir.
Keunikan tersebut rupanya menjadi ""daya tarik"" bagi tim ahli Kementerian Lingkungan 1 In Inp untuk mengetahui seperti apa pola musim yang terjadi di pulau yang terletak di bagian timur Indonesia itu. Tim ilmuwan yang diketuai Djoko Santoso Abi Suroso ini mempelajari data curah hujan, temperatur lingkungan, dan tinggi permukaan laut di Pulau Lombok selama 30 tahun terakhir.""Kami mengkaji risiko yang terjadi akibat perubahan iklim di Pulau Lombok,"" kata Djoko kepada Tempo di Jakarta, Rabu lalu.
Informasi tentang curah hujan, temperatur lingkungan, dan tinggi permukaan laut itu diperoleh dari berbagai sumber, seperti Badan Na-sional Penanggulangan Bencana, Dinas Pengairan Pekerjaan Umum Nusa Tenggara Barat, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofi-sika Stasiun Selaparang (Ampenan), dan data perubahan iklim yang direkam Intergovemmental Panel on Climate Change, bagian dari World Meteorological Organization.
Ahli sains atmosfer Tri Wahyu Hadi mengatakan, secara umum, iklim di Indonesia, termasuk Lombok, dikendalikan oleh sirkulasi monsun Asia-Australia, yakni aliran udara atau angin di lapisan bawah atmosfer yang melintasi ekuator di atas Indonesia dan berganti arah tiap setengah tahun. Di Pulau Lombok, perubahan arah aliran udara lintas ekuator ini menyebabkan terjadinya musim hujan pada bulan Desember-Ja-nuari-Februari dan musim kemarau pada bulan Juni-Juli-Agustus, sedangkan bulan-bulan lain merupakan periode transisi alias pancaroba. Peta curah hujan tahunan yang dibuat pada awal 1900-an menunjukkan bahwa Pulau Lombok berada di perbatasan antara daerah yang relatif basah dan relatif kering.
Artinya, pulau tersebut termasuk wilayah yang sensitif terhadap perubahan iklim. Buktinya, pada Januari 2007 terjadi kekeringan parah di Pulau Lombok dan Sumbawa, sehingga mengakibatkan gagal panen. Padahal seharusnya pada bulan itu masuk musim hujan karena pada Desember 2006 curah hujan cukup tinggi. ""Hujan tiba-tiba menghilang dan muncul lagi pada Februari 2007,"" ujar Tri.
Dia menambahkan, ""anomali"" iklim yang terjadi pada bulan Januariitu tidak pernah terjadi sepanjang periode 1961-1990. Pada masa itu, curah hujan Januari berkisar 300 milimeter dan terus menurun menjadi 175 milimeter pada periode 1991-2007, kemudian hilang sama sekali saat ini.
Selain perubahan curah hujan, dia menambahkan, ada peningkatan temperatur rata-rata hampir setiap bulan sebesar 0,5 derajat Celsius, kecuali Agustus dan September. Tri memperkirakan sepuluh tahun lagi suhu udara di Pulau Lom-bok akan naik 1 derajat Celsius dan meningkat 2-3 derajat Celsius mulai 2070.
Untuk mengetahui ada-tidaknya perubahan iklim di Pulau Lombok, tim peneliti tidak hanya mengukur curah hujan dan temperatur lingkungan, tapi juga dari tingginya permukaan air laut. Ahli klimatologi laut Ibnu Sofian mengatakan para ahli oseanografi menyatakan bahwa global warming berkaitan erat dengan semakin tingginya frekuensi El Nino dan La Nina. Frekuensi terjadinya dua musim ekstrem itu mulai meningkat pada 1970 sampai sekarang. Padahal biasanya baik El Nino maupun La Nina terjadi dalam rentang 2-7 tahun sekali.
Pulau Lombok, yang dikelilingi lautan, sangat mudah terpengaruh oleh kenaikan tinggi air laut, terutama ter-hadap bahaya banjir atau rob, sedimentasi, dan erosi. ""Kondisi seperti ini semakin rentan akibat meningkatkan frekuensi iklim ekstrem, seperti El Nino dan La Nina,"" kata Ibnu.
Kenaikan tinggi permukaan air laut terjadi pada periode transisi antara El Nino dan La Nina, dengan kenaikan 15-20 sentimeter di atas rata-rata tahunan. Ibnu memperkirakan, pada 2030, tinggi permukaan air laut di pantau utara dan selatan Pulau Lombok mencapai 10,5-24 sentimeter dan akan meningkat menjadi 28-55 sentimeter pada 2080. Kenaikan tinggi permukaan air laut ini, menurut dia, meningkatkan risiko erosi, perubahan garis pantai, dan mereduksi daerah wetland di sepanjang pantai.
mm Kl warno