LANGKAP, ANCAM PELESTARIAN BADAK JAWA
Oleh: Nur Arinta
WWF mulai melakukan aksi penyelamatan Badak Jawa sejak tahun 1962. Saat itu WWF hadir ke Indonesia melalui penelitian penyelamatan populasi Badak Jawa yang nyaris punah, dengan angka populasi hanya sekitar 20 individu saja. Bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (waktu itu Kementerian Kehutanan), lambat laun jumlah populasi satwa bercula satu ini meningkat hingga stabil sekitar 40-50 individu berdasarkan survey tahun 1980-an. Kini jumlah populasi Badak Jawa sudah sebanyak 67 individu.
Naiknya angka populasi Badak Jawa yang hanya ada di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) ini membuat luas habitatnya tidak lagi mencukupi. Luas TNUK saat ini adalah 1.206 km2, sedang daya jelajah seekor Badak Jawa bisa mencapai 20 km2. Kurangnya luasan Taman Nasional Ujung Kulon dengan jumlah Badak Jawa yang semakin bertambah ini mengeluarkan rekomendasi para ahli badak untuk menemukan habitat kedua.
Selain kurangnya kawasan, ancaman lainnya yang tengah dihadapi kini adalah adanya invasi tanaman Langkap menghambat pertumbuhan tanaman pakan Badak Jawa. Tanaman Langkap (Arenga obtusifolia) adalah tanaman dari keluarga Arecaceae (palem-paleman) yang menyebar dengan sangat cepat sehingga mengakibatkan turunnya keanekaragaman jenis tanaman pakan bagi badak.
Jenis palem satu ini menjadi invasif karena sifatnya yang dapat berkembang biak dengan cara generatif dan vegetatif. Perkembangbiakan tanaman Langkap dengan cara generatif melalui bijinya. Satu tandan langkap dapat menghasilkan buah sekitar 315 hingga 1800 buah, dan satu buah Langkap terdapat tiga buah biji. Penyebaran biji tersebut. Penyebaran biji Langkap dibantu oleh satwa pemencar biji seperti musang, tikus, dan burung. Pola perkembangbiakan lain dari tanaman langkap adalah dengan cara vegetatif, yakni melalui akarnya yang kerap disebut sulur. Sulur yang tumbuh di dekat tanah akan masuk ke tanah dan tumbuh membentuk tunas langkap baru.
Selain pola perkembangbiakannya, alasan lainnya yang membuat tanaman ini menjadi invasif adalah sifatnya yang dapat tumbuh dengan baik di area dengan intensitas cahaya matahari yang minim. Invasi kelompok tanaman Langkap membuat tutupan kanopi yang sangat rapat sehingga menghambat penetrasi cahaya matahari ke lantai hutan. Rendahnya intensitas cahaya matahari yang masuk ke lantai hutan membuat daya tumbuh tanaman lain menjadi berkurang, bahkan hilang. Hal inilah yang mengancam keanekaragaman tanaman pakan badak dan tentu berpengaruh langsung pada kelestarian Badak Jawa.
Untuk mengatasi hal ini, WWF-Indonesia melakukan berbagai upaya guna seperti monitoring, melakukan penelitian, dan juga pengandalian tanaman langkap itu sendiri. WWF-Indonesia melakukan pengendalian langkap yang dimaksudkan untuk mengurangi kepadatan langkap di Ujung Kulon. Pengendalian ini dilakukan secara manual dan tidak menggunakan kimia. Selain pengendalian, WWF-Indonesia juga melakukan monitoring guna mengetahui efektifitas pengendalian dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman pakan badak Jawa, serta penggunaan ruang oleh Badak Jawa dan satwa lainnya.
Upaya lainnya dalam rangka menyelesaikan permasalahan Langkap, WWF-Indonesia bersama Balai Taman Nasional Ujung Kulon, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Gajah Mada juga telah menyusun desain pengendalian tanaman Langkap di Ujung Kulon.
Jika tanaman Langkap menginvasi habitat Badak Jawa yang cukup luas di Taman Nasional Ujung Kulon, pemindahan habitat ke luar Ujung Kulon menjadi salah satu opsi yang perlu dipikirkan. Kondisi Taman Nasional Ujung Kulon yang juga tidak lepas dari ancaman letusan Krakatau, gempa bumi dan tsunami juga menjadi alasan lain mengapa perlu adanya habitat kedua bagi Badak Jawa. Karena jika tsunami terjadi dan populasi Badak Jawa hanya berada di Ujung Kulon, dapat dipastikan bahwa kita akan kehilangan satwa warisan dunia kebanggaan Indonesia ini.