KELAS BERKELANJUTAN 2: PERJALANAN SEPIRING NASI
Pendidikan yang relevan terhadap realitas dan menjawab permasalahan kerap digaungkan pada berbagai dialog pendidikan. Seorang reformis pendidikan Amerika, John Dewey pertama kali mengenalkan pendidikan kontekstual dimana pendekatan tersebut menekankan bahwa murid akan memproses informasi lebih baik apabila pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari mereka. Pendidikan kontekstual mengangkat permasalahan di sekitar murid. Contohnya, anak-anak yang tinggal ditepi pantai dapat belajar matematika dengan menghitung jumlah sampah di pesisir pantai dan anak -anak yang tinggal diperkotaan dapat menghitung carbon yang mereka hasilkan dari aktivitas sehari-hari mulai dari mereka membuka mata sampai terlelap. Tentu saja, topik topik tersebut dapat diintegrasikan dengan pembelajaran matematika dan tidak menutup kemungkinan untuk dihubungkan dengan kearifan lokal mengenai laut serta ekosistem laut.
Tidak jauh dari ibu kota kabupaten Kuantan Singingi, sebuah sekolah di kelilingi kebun karet, di area perkarangan juga ditumbuhi tanaman buah, terkadang sekolah juga menjadi lintasan hewan ternak ketika musim lepas tiba. Musim lepas biasanya dilakukan setelah petani memanen sawah hingga musim bertanam kembali tiba. Kehadiran tim WWF dan Save the Children disambut siswa-siswi kelas VII 1 SMPN 3 Gunung Toar dengan ceria. Mereka sudah mendapat bocoran dari ibu guru bahwa hari ini akan belajar di sawah dalam pembelajaran kontekstual bertemakan perjalanan sepiring nasi. Tujuan dari kegiatan ini ialah agar siswa dapat memahami tentang rantai produksi beras, memetakan kendala yang dihadapi petani pada setiap tahapan produksi, mengerti ekosistem sawah dan rantai makanan, menghitung kalori pada sepiring nasi dan menumbuhkan rasa syukur dan bangga karena tumbuh di daerah penghasil padi.
Perjalan sepiring nasi dikembangkan dengan konsep from farm to table yang bermakna murid-murid akan belajar rangkain proses pengolahan padi mulai dari penyemaian benih hingga nasi disajikan diatas piring. Pembelajaran kontekstual seperti ini memberikan peluang kepada komunitas masyarakat untuk dapat terlibat dalam proses pembelajaran. Pada kegiatan ini, kami melibatkan 2 orang petani. Kegiatan ini juga mengandung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan seperti mengakhiri kelaparan (SDGs 2), ekosistem darat (SDGs 15) dan produksi dan konsumsi berkelanjutan (SDGs 12).
Aktivitas pagi itu dimulai dengan menyusun kontrak belajar bersama. Hal ini penting dilaksanakan agar murid-murid belajar disiplin dan tertib. Kemudian, kakak panitia dari WWF dan Save the children mengulas materi pertemuan sebelumnya tentang 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Rehan dan Ardi, murid kelas 7, bergantian menjawab bahwa kegiatan perjalanan sepiring nasi berhubungan dengan krisis iklim dimana perubahan iklim yang ekstrim menyebabkan petani gagal panen. Setelah selesai berdiskusi, bersama lima orang guru pendamping dan 3 orang tim, anak-anak berjalan dalam barisan menuju ke sawah yang letaknya 300 m dari sekolah mereka. Mereka juga dibekali lembar kerja yang didalam nya memuat penjelasan, daftar observasi hewan dan tumbuhan, pertanyaan untuk petani dan table perhitungan kalori makanan.
Karena saat ini musim lepas ternak, murid-murid hanya dapat belajar beberapa kegiatan bertani seperti menyemai benih, membajak sawah dan menggiling padi. Sesampainya di sawah Bu Siep menjelaskan tentang ekosistem dan rantai makanan. Kemudian murid murid diberi waktu untuk eksplorasi, mengamati dan menuliskan berbagai jenis tumbuhan dan hewan yang mereka temukan. Beberapa anak anak tampak mengamati irigasi untuk melihat spesies ikan lele atau gabus di sekitar sana. Sementara, Sebagian lagi mencoba menghitung kawanan kerbau dan burung kuntul. Dari kegiatan ini, anak anak belajar tentang ekosistem sawah yang terdiri dari produsen, konsumen, dekomposer serta komponen abiotik.
Kegiatan selanjutnya ialah pembenihan atau lebih dikenal dengan menganok oleh masyarakat tempatan. Kegiatan ini dipandu oleh ibu-ibu petani. Bu Idet, salah seorang petani menjelaskan dengan bahasa lokal, “di desa kita, teluk beringin, menyemai benih di lakukan di polak atau ladang, caranya dengan menggemburkan tanah dengan cangkul kemudian membuat lubang semai dengan tugal”. Setelah membuat lubang, kurang lebih satu genggam benih dimasukan. Setelah penjelasan tersebut, murid murid mencoba menyemai benih. Selama proses ini, murid murid juga bertanya seperti jenis benih padi yang ditanam sekarang, berapa lama waktu menyemai benih dll. Bagi ibu Idet, hal ini baru pertama kali dia lakukan. Sebagai salah satu anggota kelompok tani padi, dia merasa senang murid-murid dapat belajar langsung di sawah dan terlibat dalam menanam. Setelah menyemai benih murid murid belajar membajak dengan traktor. Baik murid laki laki ataupun perempuan, sangat antusias ketika membajak.
Dialog dengan petani juga tidak kalah seru dibandingkan dengan kegiatan observasi sawah dan membajak. Dalam sesi ini siswa dipersilahkan untuk bertanya. Salah satu murid bertanya tentang kendala bertani, kemudian diikuti dengan pertanyaan jumlah hasil produksi pertanian, penyebab gagal panen dan motivasi menjadi petani oleh murid lain. Petani juga sangat antusias dalam mengikuti sesi tanya jawab bersama murid. Baik petani ataupun murid murid terlihat menikmati sesi ini.
Sebelum makan siang murid murid mendapatkan materi tentang makanan dan energi dari tim WWF. Makanan diibaratkan seperti bahan bakar pada kendaraan. Dengan mengkonsumsi makanan sehat, manusia dapat belajar, berlari, bermain dan melakukan banyak aktivitas. Selain itu anak-anak juga diajarkan untuk menghitung jumlah kalori dari sepiring nasi yang mereka santap. Tentu saja, lauk pauk makan siang hari itu bersumber dari sawah. Pada sesi refleksi hampir seluruh anak mengatakan pembelajaran hari ini sangat menyenangkan dan seru. Diakhir kegiatan mereka juga diajak merenungkan proses panjang dalam menghasilkan sebutir beras. Untuk itu, mereka diingatkan untuk selalu berterimakasih dan bangga kepada petani.
Pembelajaran kontekstual seperti perjalanan sepiring nasi membantu anak anak melihat realita pertanian yang ada di desanya. Dari pembelajaran ini mereka diajarkan untuk kritis dan mengelola sumber pangan dengan terampil dan bijak.