IDENTIFIKASI PELAKU PEMBUDIDAYA RUMPUT LAUT DAN KERAPU POTENSIAL DI MALUKU TENGGARA
Oleh: Faridz R. Fachri (Fisheries Business Officer, WWF-Indonesia Kei Project)
Pada awal Juni 2015 lalu, WWF-Indonesia bersama Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku Tenggara melakukan identifikasi pelaku budidaya rumput laut dan ikan karang (kerapu) di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara. Kegiatan ini dilakukan sebagai bentuk dukungan untuk praktik budidaya bertanggung jawab dan ramah lingkungan sesuai dengna misi yang diemban oleh kolasi JARING-Nusantara. Identifikasi difokuskan di wilayah Hoat Soarbay, untuk komoditas rumput laut; dan Ohoi Faan untuk ikan kerapu.
Hoat Soarbay dipilih sebagai lokasi identifikasi budidaya rumput laut karena secara geografis, kondisi teluk yang memanjang hingga 17 km ini memungkinkan untuk dijadikan lokasi budidaya rumput laut sepanjang tahun. Hal ini dikarenakan lokasi tersebut tidak terpengaruh oleh angin musim barat dan timur. Adanya ekosistem mangrove yang cukup lebat di sepanjang teluk dan kondisi arus yang aktif akibat gaya pasang surut, juga sangat baik untuk mendukung proses budidaya tersebuut.
Berdasarkan cluster pengembangan rumput laut di Kabupaten Maluku Tenggara, Hoat Soarbay masuk dalam cluster 2 tergabung dengan cluster Debut. Terdapat tiga lokasi Desa (Ohoi) di Hoat Soarbay yang menjadi lokasi identifikasi yakni Ohoi Evu, Ohoi Wab Arso dan Ohoi Letvuan. Turut berpartisipasi dalam kegiatan ini adalah Victor Sirkin, Ketua Kelompok Pembudidaya Ohoi Evu); K. Kadmaerubun, Ketua Kelompok Pembudidaya Ohoi Wab Arso sekaligus Ketua Kelompok Arso Star; dan Gabriel, Ketua Kelompok Pembudidaya Ohoi Letvuan.
Komoditas rumput laut yang dikembangkan di ketiga lokasi ini adalah jenis cottoni (Kappaphycus alvarezii, sebelumnya dikenal dengan nama Euchema cottonii) meliputi tiga varian: hijau (birbir), coklat (tumtum) dan merah (walwuf). Metode budidaya yang digunakan adalah longline dengan modifikasi jangkar menjadi sistem pasak — biasa disebut “shock” oleh masyarakat setempat — yang cukup inovatif dalam mengantisipasi kondisi dasar yang berlumpur serta kondisi kedalaman perairan (7-10 m). Jangkar dibuat dari kayu yang diruncingkan ujungnya dan diikat tali (ukuran 8-12), kemudian dimasukkan ke dalam tabung dan ditancapkan hingga ke dalam dasar lumpur. Seluruh bagian kayu masuk dalam lumpur dan tali yang mengikat dihubungkan dengan longline yang searah dengan arah arus. Berbeda dengan inovasi ini, metode jangkar biasa kurang mampu menahan dorongan arus. Kelompok pembudidaya rumput laut Arso Star telah menyediakan bibit usia 25-30 hari dengan usia panen 45 hari. Harga normal rumput laut kering per kg adalah Rp.10.000 dengan kisaran harga Rp.7.000 – Rp. 17.000 yang dijual ke pengepul di Ohoi Debut.
Kendala budidaya rumput laut di wilayah ini masih seputar gejala ice-ice yang menyerang pada musim peralihan, terutama bulan November-Desember. Ice-ice merupakan infeksi ditandai dengan bintik atau bercak-bercak merah pada sebagian thallus yang lama kelamaan menjadi kuning pucat dan berangsur-angsur menjadi putih, akhirnya hancur atau rontok. Gejala ini timbul karena usia rumput laut yang sudah tua, kurangnya nutrisi, ataupun stres akibat perubahan kondisi lingkungan yang mendadak. Kelompok Arso Star telah melakukan percobaan menggunakan bibit kultur jaringan dari Lampung untuk meningkatkan ketahanan rumput laut terhadap ice-ice. Observasi yang telah dilakukan, menunjukkan tren yang positif, perkembangan bibit cottoni hasil kultur jaringan cukup bagus, memiliki lebih banyak cabang dan tunas, jika dibandingkan dengan bibit lokal. Mereka berencana akan selalu memantau pertumbuhannya dan ketahanannnya terhadap ice-ice hingga musim peralihan kedua di akhir tahun 2015.
Berbeda dengan rumput laut, budidaya kerapu cukup sulit ditemui di Kabupaten Maluku Tenggara. Diduga permasalahan terletak pada sulitnya mendapatkan bibit dari hatchery, besarnya modal, dan kebutuhan akan perawatan intensif. Hanya satu kegiatan budidaya yang berhasil diidentifikasi, yaitu budidaya kerapu jenis mulut tikus (Cromileptes altivelis) dengan sistem Keramba Jaring Apung/KJA berukuran petak 3m x 3m x 10m, milik Bapak Yoseph Sikteubun di Ohoi Faan. Belum ada kegiatan budidaya serupa di sekitar tambak beliau. Berdasarkan keterangan, bibit kerapu keramba tersebut berasal dari Ambon dengan panjang 7-9 cm dan harga Rp. 1.500/cm. Untuk beroperasi, dibutuhkan sekitar 4.000-5.000 bibit.
Informasi yang didapat dari kegiatan identifikasi akan digunakan sebagai bahan acuan dalam pendampingan Aquaculture Improvement Program (AIP) di Kabupaten Maluku Tenggara sesuai Better Management Practice (BMP), serta menyesuaikan dengan standar pengelolaan budidaya Aquaculture Stewardship Council (ASC).