HARI LINGKUNGAN HIDUP: MERAYAKAN ALAM DAN MASYARAKAT DI JANTUNG BORNEO
Oleh: Cristina Eghenter
Deputy Director for Governance and Social Development
Pada Hari Lingkungan Hidup, kita seharusnya tidak hanya merayakan alam; kita perlu merayakan alam dan para penjaganya, hubungan mutualis yang paling kuat untuk masa depan planet kita yang berkelanjutan. Hari lingkungan hidup dapat menjadi waktu untuk mengingat bahwa kelestarian alam berjangka panjang sebagai dasar kehidupan kita, juga bergantung pada praktik dan nilai-nilai masyarakat yang telah berinteraksi dengan alam, menggunakan, menghargai dan menjaga sumber daya dan kegunaannya untuk waktu dahulu kala. Itulah hakikat dari penjaga alam.
Hubungan alami antara manusia dan lingkungan paling jelas terlihat di sudut-sudut geografis yang menyimpan keanekaragaman hayati tinggi serta tanah air dari masyarakat adat. Ambil contoh Heart of Borneo, dimana kekayaan alaminya saling berkaitan dengan nilai sosial dari praktik-praktik konservasi dan nilai-nilai dari masyarakat adat, yang secara kolektif dikenal sebagai Dayak.
Dalam perkembangan waktu yang semakin cepat, pembangunan infrastruktur yang masif, pertumbuhan populasi dan peningkatan konsumsi serta gaya hidup yang tidak berkelanjutan, kegiatan menjaga lingkungan dan menilai kembali fungsi-fungsinya, menjadi sangat mendesak. Dalam upaya ini, kegiatan perlindungan, konservasi, penggunaan dan pengelolaan berkelanjutan, serta pemulihan lingkungan oleh masyarakat adat menjadi dimensi vital yang dapat kita pelajari dan berdayakan. Penduduk setempat memiliki minat yang besar dalam mempertahankan sumber daya dan penyediaan ekosistem berkelanjutan dari tanah mereka.
Masyarakat adat Dayak di Heart of Borneo telah berabad-abad mengelola hutan dengan cara yang berkelanjutan. kegiatan mereka, didukung oleh peraturan lokal dan pengetahuan tradisional, telah berkontribusi pada pemeliharaan dan pelestarian keanekaragaman hayati yang kaya dan luar biasa dari Heart of Borneo. Di seluruh Kalimantan, sistem hukum lokal ini dikenal sebagai adat. Adat dikembangkan secara kolektif tanpa dokumen tertulis, diteruskan dari generasi ke generasi dan dimodifikasi atau disesuaikan dengan kondisi sosial yang berubah-ubah. Hukum adat adalah pernyataan ideologis dan etis oleh masyarakat tentang sumber daya alam dan lingkungan, sebagai bagian dari konstitusi sang pelindung alam.
Berbagai kegiatan yang telah merawat lingkungan pedalaman Kalimantan meliputi peraturan adat, tradisi pertanian berbasis lingkungan, budaya, indeks agrobiodiversitas tinggi, perlindungan dan pemberian sanksi, dan ikatan yang kuat serta unik antara alam dan masyarakat. Satu yang dapat menjadi contoh adalah Masyarakat Penan; sebagaimana dijelaskan oleh Jayl Langub, digambarkan memiliki jenis ikatan yang sangat kuat dan jelas: “Penan memiliki sebuah kata, tawai, yang mengekspresikan dengan cara tertentu sentimen dan keterikatan mereka untuk lanskap. Tawai adalah ekspresi nostalgia, kegemaran dan kerinduan akan pemandangan, keutuhan dan ingatan peristiwa, penting atau tidak penting, yang terjadi di sana, aktivitas kelompok, kehidupan secara umum, dengan makanan yang banyak atau tidak, perburuan yang sukses atau tidak, kali sedih dan saat-saat bahagia. Tawai mengikat kelompok dan individu ke lanskap” (Human Heart of Borneo 2012: 33).
Pada hari kita merayakan lingkungan, kita tidak dapat melupakan para pelindungnya. Masa depan lingkungan akan bergantung pada bagaimana membangun hubungan alami yang lebih kuat antara manusia dan alam, dalam menciptakan penerimaan dan dukungan untuk lingkungan, dalam menjalin hubungan yang baru. Masa depan lingkungan akan bergantung pada segenap perwakilan masyarakat lokal dan tatanan adatnya untuk memperkuat tanggung jawab bersama untuk menjaga lingkungan dari meningkatnya nilai sumber daya dan pembangunan yang merusak.