GILL NET, ALAT TANGKAP PRIMADONA NELAYAN SELAYAR TERNYATA MENJARING PENYU PALING BANYAK
Oleh: Bintang Prayoga (Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Bycatch & Sharks Conservation Intern, WWF-Indonesia)
Bagi nelayan, alat penangkapan ikan (API) adalah senjata terpenting dalam melaut. Mulai dari pancing sampai jaring, preferensi nelayan dalam menggunakan alat tangkap ini berbeda-beda, dengan alasan yang beragam pula, Begitu pun dengan nelayan di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Hasil laut adalah andalan bagi pendapatan asli daerah ini. Berbagai macam alat tangkap digunakan untuk menangkap ikan konsumsi yang berbeda-beda.
Ada temuan menarik ketika kami, WWF-Indonesia, menggelar survei cepat potensi tangkapan sampingan (bycatch) biota Endangered, Threatened, Protected (ETP) pada alat tangkap nelayan Selayar, 10-23 Januari 2017 lalu.
Bersama Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Selayar, Balai Taman Nasional (BTN) Takabonerate, dan beberapa mitra lokal, kami menggali informasi dari lima desa sebelah barat di utara Pulau Selayar, yaitu Desa Maharaya, Desa Buki, Desa Barugaia, Desa Mekar Indah, dan Desa Bontolebang.
Dari 73 nelayan yang kami wawancarai, ternyata, sebagian besar menggunakan gill net (jaring insang) sebagai alat tangkap, dengan persentase hingga 40,5 persen. Selain nelayan gill net, 21.73% nelayan lainnya menggunakan pukat cincin (purse seine), 14,49% pengguna sero, 13,04% pancing ulur (hand line), 7,24% rawai (longline), dan 2,89% menggunakan bagan.
Mengapa gill net menjadi primadona? Gill net umumnya terbuat dari monofilament dan berbentuk persegi, membentang panjang secara horizontal, dengan pelampung pada jaring bagian atas dan pemberat di bagian bawah. Ukuran mata jaring yang digunakan nelayan Selayar untuk menangkap ikan karang biasanya berkisar antara 1-4 inci.
Nelayan memilih gill net karena harga produksi yang relatif murah, dengan bahan-bahan yang mudah didapat. Tidak jarang, mereka memanfaatkan sandal bekas sebagai pengganti pelampung untuk jaring.
Namun, di samping memenuhi kebutuhan ikan target nelayan, ternyata gill net merupakan salah satu jenis API yang berpotensi tinggi akan tertangkapnya penyu secara tidak sengaja (bycatch). Sepanjang tahun 2016, 36 nelayan gill net yang kami wawancara mengaku pernah menangkap total 47 penyu. Mulai dari penyu tempayan, penyu pipih, penyu sisik, sampai penyu lekang.
Ukuran mata jaring dan teknik pengoperasian API sangat menentukan tertangkapnya penyu pada saat menangkap ikan. Potensi bycatch penyu dengan menggunakan gill net terbilang cukup besar. Bycatch penyu yang tertangkap dengan gill net adalah 66,7%, sedangkan pada alat tangkap lain hanya 33,3%.
Penyu-penyu ini biasa tertangkap tidak sengaja di lokasi penangkapan yang berada tidak jauh dari desa. Dari rata-rata 29 trip penangkapan ikan responden, penyu yang tertangkap dalam satu bulan adalah sebulan mencapai dua ekor, atau setidaknya 24 ekor bycatch penyu per tahun di setiap desa.
Patut diapresiasi, bahwa 99% nelayan responden melepaskan kembali penyu yang tertangkap secara tidak sengaja, sementara sisanya masih mengkonsumsi penyu yang tertangkap. Mereka merobek jaring pada bagian tubuh penyu yang tersangkut, dan mengembalikannya ke laut.
Tentunya, membutuhkan keterampilan khusus untuk menangani bycatch penyu di atas kapal. Penyu yang akan dilepas harus dalam keaadaan sehat dan sadar, tanpa jaring yang masih tersangkut pada tubuhnya.
Hal inilah yang akan menjadi langkah selanjutnya bagi WWF-Indonesia dalam mendampingi nelayan Selayar. Keramahan luar biasa yang kami terima dari masyarakat selama survei kemarin, membuat kami optimis bahwake depannya, BMP (Better Management Practices) penanganan bycatch penyu akan diterapkan dengan baik di atas kapal-kapan nelayan Selayar.