PULAU BURU MENJADI PANTAI PENELURAN PENYU BELIMBING DI MALUKU
Oleh: Taufik Abdillah (Marine Spatial and Monitoring Officer, Inner Banda Arc Sub-seascape (IBAS), WWF-Indonesia)
Penyu belimbing (Dermochelys coriacea) adalah penyu laut terbesar – bahkan, salah satu reptil terbesar yang masih hidup setelah ratusan juta tahun. Berkat keberhasilan konservasi penyu belimbing di daerah barat Samudra Atlantik, saat ini status dan kategori perlindungan penyu belimbing pada International Union for Conservation of Nature (IUCN) berubah dari terancam punah (endangered) menjadi rentan (vulnerable).
Namun, peningkatan status penyu belimbing di alam belum bisa dinyatakan aman. Di Indonesia, selama tiga dekade, penurunan populasi penyu belimbing terlihat dari menurunnya jumlah sarang di pantai peneluran terbesar bagi penyu belimbing di Jamursba Medi, Papua Barat. Menyisakan 1.532 sarang pada tahun 2013, dari total 14.455 sarang yang tercatat pada tahun 1984.
Angka memprihatinkan ini yang membawa kami, WWF-Indonesia, ke Pulau Buru, Kabupaten Buru, salah satu pulau terbesar di gugus kepulauan Maluku. Diapit Laut Seram di sebelah utara dan Laut Banda di selatan, perairan Pulau Buru menjadi jalur ruaya penyu belimbing.
Hal tersebut disinyalir dari data tracking penyu belimbing di Pantai Jamursba Medi oleh WWF Indonesia dan NOA (National Oceanic and Atmospheric Administration) pada tahun 2003 lalu. Laut Banda dan Laut Seram memang tempat penting bagi jalur migrasi spesies laut yang dilindungi, seperti mamalia laut (paus dan lumba-lumba) dan penyu.
Pantai-pantai di utara Pulau Buru juga menjadi lokasi peneluran bagi penyu belimbing. Hal inilah yang membawa kami ke Pulau Buru – selain tentunya kapal ferry dari Ambon ke Pelabuhan Namlea – untuk melakukan survei cepat mengenai lokasi peneluran penyu di pulau ini.
Selama 6-15 Desember 2016 lalu, kami mendatangi lima desa yang tersebar di dua kecamatan, yaitu Desa Waprea dan Waiputih (Kecamatan Waplau), Desa Waspait, Wamlana, dan Wainibe (Kecamatan Fena Leisela). Sigi (survei) ini bertujuan khusus untuk mendapatkan data dasar terkait pantai peneluran, ancaman perburuan dan perdagangan penyu, sebaran spesies penting, dan data awal profil perikanan tangkapan sampingan (bycatch).
Untuk melakukannya, saya tidak sendiri. Kami, dua orang dari WWF-Indonesia, ditemani oleh fasilitator lokal di setiap desa. Sigi pantai peneluran penyu tahap awal ini menggunakan form sigi ekstensif yang telah ter-input dalam aplikasi Akvo Flow yang terinstal di perangkat keras Android.
Sigi ekstensif dilakukan untuk mendapatkan data dasar dalam cakupan terbatas pada suatu bentang pantai yang diputuskan sebagai pantai indeks. Kami menyusuri garis pantai di lima desa pengamatan di Pulau Buru pada waktu pagi, sore, dan malam. Total panjang pantai pada lima desa ini mencapai 13.7 km. Pantai Waprea memiliki panjang pantai 0,9 km, Waeputih sepanjang 2,2 km, Waenibe sepanjang 4,1 km, dan Waspait hingga Wamlana sepanjang 6,5 km. Sementara lebar pantai kelimanya berkisar antara 10 - 38 meter.
Setiap temuan selama sigi ekstensif di sepanjang garis pantai - seperti jejak, sarang, jejak dan sarang, serta penyu yang naik bertelur – kami catat dalam aplikasi Akvo Flow.
“Tidak cuma salawaku (penyu belimbing) yang bertelur di sini, Pak. Penyu lekang dan penyu sisik, juga!”
Kesaksian warga inilah yang membantu kami dalam menganalisis hasil temuan sigi ekstensif – sebanyak 85 sarang penyu sepanjang pantai Desa Wainibe, Waspait, hingga Wamlana.