CATATAN #XPDCMBD: DESA LATOLA BESAR
Penulis: Nara Wisesa (WWF-Indonesia)
Pada hari ke-13 pengambilan data, saya terpaksa tidak bisa ikut turun ke Desa Latola Besar di Pulau Masela karena telapak kakinya terluka saat turun dari kapal cepat sehingga tidak sanggup melanjutkan perjalanan ke desa. Oleh karena itu, diskusi kelompok terarah dipimpin oleh Hellen (Unpatti). Saat tiba di lokasi, Tim Darat juga hanya didampingi oleh Kepala Urusan (Kaur) Desa Lalota Besar, karena kepala desa (kades) dan sekretaris desa (sekdes) sedang dinas ke luar desa.
Walaupun tidak ikut dalam pengambilan data, saya mendapatkan sekilas informasi mengenai Desa Lalota Besar dari kawan-kawan Tim Darat saat mereka kembali dari lapangan. Berikut informasi yang didapat:
- Desa Latola Besar masih menjalankan ritual adat pernikahan dan pelantikan kades, yang mana dilakukan menyerupai ritual pengangkatan raja zaman dahulu. Kades terpilih nantinya akan dibawa naik gunung ke kampung lama, kemudian dibawa ke tetua marga tuan tanah, sebelum akhirnya dilantik di depan masyarakat. Kades yang mencalonkan diri boleh berasal dari marga apapun, namun tetap harus mendapatkan persetujuan dari marga raja.
- Peserta diskusi kelompok terarah cukup banyak dan antusias selama kegiatan berlangsung. Proses diskusi didominasi oleh para wanita yang berjumlah enam orang. Dari hasil diskusi diketahui bahwa Desa Lalota Besar masih ada sistem sasi untuk komoditas lola; teripang; dan batulaga, yang diberlakukan dan dibatasi dalam lima kawasan petuanan yang ada di desa tersebut dan dipimpin oleh ‘soa’ masing-masing. Namun ternyata hasil pembukaan sasi dikabarkan kini mengalami penurunan.
- Kondisi batu karang di sekitar desa masih dalam kondisi baik, hanya di beberapa lokasi rusak akibat gelombang laut saat musim barat. Saat musinm barat, para nelayan juga tidak melakukan aktivitas ‘bameti’ dan melaut. Mereka biasanya melaut mencari ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ketika musim ikan, nelayan akan mencari ikan terbang, sakuda, dan bobara. Hasil tangkapan yang kelebihan kadang dijual ke Babar Timur dan Tepa – baik dalam keadaan segar maupun diasinkan – dan kepada pembeli yang sedang mencari produk ikan tersebut. Harga jual ikan besar dapat mencapai antara IDR 50.000-100.000 per ekor.
- Alat penangkap ikan yang digunakan oleh para nelayan masih termasuk tradisional, yaitu pancing, jaring, dan panah. Jalur yang digunakan adalah area ‘meti’ hingga perairan di selat antara Pulau Masela dan Pulau Babar. Armada yang digunakan adalah ‘sampang’ kayu tanpa mesin. Terdapat hanya kira-kira 20 unit ‘sampang’ di desa ini.
- Hanya terdapat 20 Kepala Keluarga (KK) di Desa Lalota Besar yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Itupun berubah saat musim barat, yaitu dengan beralih ke berkebun.
- Sejauh mata memandang, Tim Darat berkesimpulan bahwa Desa Lalota Besar terhitung desa yang cukup maju. Sebagian besar bagunan rumah sudah terbuat dari beton; terdapat banyak toko; serta pelabuhan yang merupakan tempat banyak kapal kargo berlabuh dan disinyalir sebagai jalur lalu lintas barang.
- Selain itu, sinyal telepon selular pun cukup bagus di desa ini, terutaman di daerah atas bukit.