BIARKAN DUGONG HIDUP BEBAS DI LAUT
Oleh: Casandra Tania (Marine Species Officer, WWF-Indonesia)
Belakangan ini, kita sering mendengar tentang dugong yang terdampar atau tertangkap secara tidak sengaja. Yang menarik, dalam beberapa kasus, dugong yang masih hidup terkadang berakhir dengan dipelihara oleh penangkapnya. Dugong terkadang dibuatkan kandang atau yang paling umum diikat pada bagian batang ekor untuk membatasi ruang geraknya sehingga manusia lebih mudah berinteraksi dengan hewan yang dikenal pemalu ini.
Dugong yang diikat ekornya di Pulau Kokoya, Morotai, Maluku Utara, merupakan salah satu contoh kasus penangkapan liar yang dilakukan manusia. Melalui media berita Online dikisahkan bahwa dugong yang tertangkap tersebut kondisi tubuhnya sudah mengalami luka. Perlakuannya yang tidak layak ini mengundang keprihatinan dari para penyelam yang menyaksikan dan menyebarkan berita ini di sosial media. Untungnya, keprihatinan tersebut ditindaklanjuti dengan sigap oleh dinas kelautan dan perikanan setempat yang berujung pada dilepaskaliarkannya dugong.
Dugong yang terikat cenderung rentan akan stres dan dapat berimplikasi negatif pada kondisi fisiknya. Pembatasan gerak juga akan mempersulit dugong untuk mencari makan, terlebih karena terbatasnya sebaran padang lamun sehingga dalam waktu lama dugong dapat terkena malnutrisi. Ikatan pada pangkal ekor cenderung menimbulkan gesekan terus-menerus yang dapat menimbulkan bekas luka permanen dan deformasi bentuk tubuh. Kondisi terikat menyebabkan dugong menjadi sulit untuk menyesuaikan diri dengan kondisi pasang surut. Ketika air surut, dugong yang banyak menghabiskan waktu di kedalaman kurang dari 10 m ini sering berakhir dengan luka bakar serius pada bagian punggungnya atau pun terdampar. Ketika air pasang, dugong menjadi terancam tenggelam. Kondisi ini tentu sangat membahayakan dugong.
Dugong yang Terancam
Dugong memang tidak termasuk dalam jenis hewan yang bermigrasi seperti penyu atau pun hiu paus. Namun, dugong bersifat semi-nomaden yang berarti dugong juga menempuh jarak yang relatif jauh untuk mencari makan, meskipun dalam rentang yang tertentu sepanjang hidup mereka.
Mamalia laut yang memiliki siklus reprodusi lambat ini menjadi kian terancam akibat kerusakan habitat lamun, penangkapan dan perdagangan ilegal, serta adanya tangkapan sampingan (bycatch). Akibat tidak cukupnya informasi mengenai populasi dugong dan habitat lamun, upaya konservasi dugong di Indonesia menjadi terbatas.
Oleh karena itu, Simposium Nasional Dugong dan Habitat Lamun di Indonesia yang akan diadakan di Bogor pada tanggal 20 – 21 April mendatang merupakan kesempatan yang sayang jika dilewatkan. Harapannya, simposium dapat menjadi ajang untuk mengumpulkan informasi mengenai populasi, sebaran, dan pengelolaan dugong serta habitat lamunnya untuk menginisiasi dan memperkuat jejaring pemerhati dugong di Indonesia.
Dugong yang jumlahnya sudah jauh berkurang di alam tidak selayaknya menghadapi kondisi seperti ini. Marilah menjadi bagian dalam inisiatif pelestarian dugong dengan tidak memelihara dugong. Biarkan dugong hidup bebas di laut