BENTANGAN KASUS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG BISNIS TRENGGILING DI RIAU
Oleh Fitriani D. Kurniasari
Senarai bersama Jikalahari dan WWF mengadakan bentangan kasus persidangan atas kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) hasil perdagangan ilegal satwa dilindungi. Diskusi yang digelar 1 Oktober lalu mengungkap fakta dan temuan persidangan atas terdakwa M. Ali Honopiah atas perdagangan trenggiling (Manis javanica) dengan nilai transaksi mencapai Rp. 7 miliar di sepanjang tahun 2017.
M. Ali Honopiah didakwa dengan UU RI No 8/2010 pasal 5 ayat 1 tentang TPPU. Dari persidangan, diketahui terdakwa merupakan seorang anggota Polri yang aktif sejak tahun 2003. Terdakwa yang berdomisili di Tembilahan, Riau ini menggeluti bisnis trenggiling sejak tahun 2006 ketika bertugas di Bengkalis. Ia bisa mendapatkan keuntungan hingga Rp. 20 juta tiap bulannya. Dengan keuntungan yang terus bertambah, Ali Honopiah lalu dibantu oleh adiknya, Muhammad Ali. Tahun 2011, Ali Honopiah meyerahkan tampuk bisnis ilegalnya kepada adiknya dan ia pindah tugas ke daerah lain. Meskipun pindah tugas, Ali Honopiah tetap memegang kendali penuh sebagai pengarah dan pemodal atas bisnis terlarang tersebut.
Trenggiling yang dijual oleh Ali Honopiah didapatkan di daerah-daerah sekitar Riau, Sumatera Barat dan Jambi. Muhammad Ali mengaku ia dapat menjemput ratusan trenggiling dari pengepul-pengepul di daerah yang kemudian ia antar ke perbatasan Bengkalis untuk dijemput oleh kapal asing yang telah menunggu di tengah laut. Dari persidangan pula diketahui bahwa ada satu orang bernama Mr. L, toke trenggiling yang berada di Malaysia yang menjadi tujuan pengiriman trenggiling-trenggiling tersebut.
Dari pantauan Wildlife Crime Team (WCT) WWF Riau, sepanjang tahun 2017 aparat penegak hukum provinsi Riau telah mengagalkan empat kasus penyelundupan trenggiling dengan total 355 ekor trenggiling termasuk sisik trenggiling seberat 10,5 kg.
M. Ali Honopiah sendiri adalah salah satu dari dua pelaku yang ditangkap oleh petugas pada akhir Oktober tahun 2017 lalu. Ia ditangkap bersama adiknya Muhammad Ali oleh aparat kepolisian ketika melintas dari Jambi ke Pelalawan (Riau) untuk mengangkut trenggiling Bengkalis untuk dikirim ke luar negeri. Pada 5 Juli 2018, Ali Honopiah divonis pidana selama 3 tahun penjara dan denda Rp. 100 juta oleh Pengadilan Negeri Pelalawan atas keterlibatannya dalam kasus perdagangan ilegal terhadap satwa dilindungi. Dari pengembangan kasus ini, penegak hukum kemudian mendapatkan bukti-bukti Ali Honopiah terlibat tindak pidana pencucian uang dari bermacam transaksi yang dilakukannya dengan melibatkan beberapa orang disekitarnya.
Selain dibantu oleh adiknya, Ali Honopiah juga dibantu oleh kakak iparnya yang bernama Zabri (Z). Ali Honopiah menggunakan rekening Zabri untuk menyembunyikan uang hasil jual-beli trenggiling. Dalam persidangan, Ali Honopiah mengaku bahwa ia yang menyuruh Z untuk membuka rekening baru atas keperluan dirinya. Ini ia lakukan agar tidak ada yang mengendus usaha trenggilingnya tersebut.
Diskusi bentangan kasus ini digelar menjelang pembacaan sidang tuntutan Ali Honopiah yang akan dilaksanakan beberapa waktu kedepan. Sejak bulan Juli lalu, Senarai bersama Jikalahari dan WWF telah memonitoring proses persidangan kasus pencucian uang Ali Honopiah yang digelar Pengadilan Negeri Pekanbaru. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa proses hukum atas M. Ali Honopiah berjalan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
Kasus TPPU ini menjadi perhatian serius Senarai, media publikasi dan diskusi terkait isu korupsi, ekologi, sosial dan budaya. Koordinator Senarai, Ahlul Fadly mengatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum harus memberikan tuntutan maksimal kepada Ali Honopiah dengan pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Senarai merekomendasikan agar jaksa menuntut Ali, 15 tahun penjara denda Rp 8 miliar dan pidana tambahan mengembalikan uang hasil penjualan trenggiling Rp 7,1 miliar.
“Tuntutan yang maksimal patut diberikan karena, Ali seorang anggota Polri tidak memberikan contoh sebagai penegak hukum yang harus taat dan patuh pada hukum,” kata Ahlul Fadli.
“Harapan kita tuntutannya harus berat, karena Ali Honopiah ini adalah polisi penegak hukum, orang yang patuh dan taat yang hukum. Jangan sampai ringan hukumannya. Satu lagi, penyidik harus menggali lebih jauh lagi orang-orang yang berada di belakang Ali ini. Juga harus melacak si Mr. Lim ini yang berada di Malaysia. Ini karena sudah perdagangan transnasional.” Tambah Suryadi, tim monitoring persidangan Senarai.
Sementara itu, Osmantri, Koordinator Wildlife Crime WWF Riau menyatakan apresiasi kepada penegak hukum untuk pengembangan kasus tindak pidana kejahatan satwa liar kepada tindak pidana pencucian uang. Menurut catatan WWF, khususnya di Riau baru pertama kali terjadi dengan harapan banyak kasus lainnya yang dapat dikembangkan.
Trenggiling (Manis javanica) merupakan satwa pemalu yang hidup di hutan tropis dan dapat ditemukan di hampir seluruh Indonesia. Mamalia unik pemakan semut dan rayap ini memiliki sisik disekujur tubuhnya. Sayangnya, ia telah menjadi komoditas perdagangan ilegal dengan nilai jual yang tinggi. Menurut Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES), trenggiiling merupakan satwa yang paling banyak diperdagangkan.