BATU DAN DAUN KELAPA UNTUK PANCING IKAN
Oleh: Irwanto – WWF Indonesia, Program Papua
Pagi itu, Ronal bergegas melangkah menjejaki pasir pantai. Dia menjinjing sebuah tas sulaman khas Papua berisi peralatan tempur untuk memancing ikan di laut dekat kampungnya, Yomakan. Sesekali dia bersiul mengikuti irama angin yang mengikis pinggir perahunya menuju nonako (istilah lokal untuk fisihing ground). Ototnya muncul dicelah lengan bajunya ketika dia menarik starter mesin perahu yang menggerakan armada kesayangannya ke daerah tempur.
Menyusuri pulau bebatuan kecil, Ronal mengambil puluhan batu yang besarnya seukuran genggaman tangan orang dewasa. Dia menaruhnya di atas perahu tepat di depan tahta nahkodanya. Ada hal yang belum saya mengerti membuat saya bertanya kepadanya “batu itu untuk apa e?” Ronal menjawab “batu itu untuk pemberat. Nantinya akan jadi rumah ikan.” Kemudian dia meneruskan kalimatnya dengan lantang berkata “kita telah banyak mengambil dari alam, maka kita harus banyak memberi ke alam.”
Kampung Yomakan berada pada ujung selatan Pulau Rumberpon – Papua Barat. Letaknya masuk dalam kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) dan tidak begitu jauh dari daratan utama pulau Papua. Kampung Yomakan mecakup jejeran pulau-pulau kecil disekitarnya yang kaya akan biota darat dan juga laut. Sebagian besar penduduknya adalah nelayan dengan armada tangkap yang cukup sederhana. Hasil tangkapan nelayan adalah ikan-ikan ekonomis penting yang juga menjadi sasaran bagi nelayan yang berada dari luar wilayah kampung. Kampung ini dijuluki sebagai kampung Vietnam. Bukan karena penduduknya mirip orang Vietnam atau sering dikunjungi orang Vietnam. Hal ini karena di kampung ini, nelayannya adalah pengguna dopis (istilah lokal untuk bom) untuk mencariikan sehingga mirip dengan kondisi perang Vietnam.
Penggunaan dopis cukup banyak di kampung ini, mulai dari anak remaja hingga orang tua. Mereka bisa merakit dan mengoperasikannya. Target dopis bukan hanya ikan-ikan pelagis kecil seperti jenis ikan Rastrelliger dan Decapterus tetapi juga ikan demersal karang seperti jenis ikan Scarus, Plectropomus, dan Lutjanus. Lokasi buang dopis berada di sekitar perairan kampung, pulau-pulau kecil sekitar kampung, dan di sekitar dermaga tambat perahu. Dalam beberapa hari saja ada sekitar 4 ha lebih karang-karang yang patah dan hancur akibat ledakan dopis. Efek jera belum juga dirasakan si pelaku meskipun telah banyak memakan korban bahkan kematian.
Ronal merupakan sebagian kecil nelayan yang menyadari tentang dampak buruk penggunaan dopis. Dia dan beberapa nelayan lain di kampungnya telah memahami pentingnya menjaga sumber daya alam. Kerusakan habitat, berkurangnya stok ikan dan hilangnya berbagai macam spesies penting menjadi alasan utama untuk meninggalkan dopis. Dia menangkap ikan dengan cara yang telah turun temurun diajarkan oleh nenek moyangnya. Salah satu caranya dengan menggunakan bahan-bahan alami seperti daun muda (pucuk) kelapa dan batu sebesar genggaman tanggan orang dewasa. Batu diikat menggunakan daun kelapa yang dipotong dengan panjang sekitar 30 cm kemudian mata kail (mata pancing) dikait di ujung bagian atas daun. Umpan buatan dipasang di kail dan ditenggelamkan ke dasar laut. Setelah sampai, kail dihentak naik hingga lepas dari ujung daun dan kemudian tali nilon pancing ditarik hingga ke permukaan. Kurang dari 10 detik, ikan sudah meyambar umpan dan terkait di kail. Lokasi pancing ditentukan berdasarkan tempat dimana nenek moyang mereka turun temurun mencari ikan. Hingga sekarang , lokasi tersebut tersebar berdasarkan marga-marga yang ada di Kampung Yomakan.
Ada hal yang sangat menarik dan hanya sebagian nelayan menyadarinya. Batu yang diikat di daun dijadikan pemberat mata kail. Jika aktivitas ini dilakukan tiap hari maka ada puluhan bahkan ratusan batu yang sudah bertahun –tahun tersimpan di tempat yang sama. “Batunya bisa menjadi rumah ikan dan daun- daun yang terikat di batu bisa menjadi tempat menempel telur ikan,” jelas Ronal. Tidak heran jika ikan-ikan yang ditangkap tiap hari tidak berkurang jumlahnya. Secara tidak sengaja, Ronal dan nelayan lain telah membuat sebuah artifisial terumbu karang alami di laut sekitar pemukiman mereka.
Ronal adalah segelintir nelayan yang sadar akan hubungan timbal balik dengan alam. Dukungan dan perhatian dibutuhkan untuk memunculkan sosok yang sama. Sehingga akan banyak nelayan yang aktif melakukan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Bersama dengan beberapa nelayan lain, Ronal telah mengidentifikasikan potensi sumber daya alam di kampungnya. Melalui metode Participatory by Potential Lives yang difasilitasi oleh WWF Indonesia, Ronal dan rekan-rekannya telah menyusun program bersama untuk mengelola permasalahan menjadi potensi tindakan produktif yang ramah lingkungan.