ANDI ERSON: DARATAN YANG SEMAKIN LAMA SEMAKIN HILANG
Saya sudah tinggal di Pegat sejak saya masih kecil. Saya punya dua anak dan istri saya punya usaha toko kelontong di rumah. Saya sendiri memiliki mata pencaharian utama sebagai pengepul ambaring (udang kecil) dan terasi.
Kampung Pegat ini terletak di muara Sungai Lungsuran Naga di Delta Berau. Tahun 1982, lebar muara sungai masih sempit, hanya sekitar 30 meter. Namun sekarang sudah mencapai 100 meter. Sungai melebar karena tanah di kiri-kanan sungai terkikis gelombang. Bakau yang berfungsi untuk menahan tanah pun rubuh karena tanah yang terikat pada akar bakau perlahan-lahan habis digerus oleh gelombang .
Awalnya penduduk di kampung tersebut tinggal di kedua sisi sungai di sekitar ujung muara. Namun karena makin lama tanah makin habis terkikis, maka warga kampung pindah ke area yang lebih masuk ke daratan. Bak air mesjid yang tersisa, yang sebagian nampak ke permukaan ketika air surut, merupakan bukti bahwa dulu di ujung muara terdapat pemukiman penduduk.
Sejak kecil, rumah saya terletak di dekat muara sungai, di daratan seberang rumah saya sekarang ini. Daratan yang makin terkikis serta gelombang besar yang menghantam kapal yang saya tambatkan di depan rumah, mengharuskan saya untuk terus berpindah-pindah rumah ke tempat yang lebih menjorok ke daratan. Hingga saat ini sudah 3 kali saya pindah rumah.
Lima belas tahun yang lalu, saya pindah dari daratan di seberang ke daerah yang saya tempati sekarang ini, yang tanahnya belum terkena abrasi. Namun, sejak 10 tahun yang lalu, abrasi pun mulai mengikis tanah di depan rumah saya hingga tanah di bawah rumah saya. Bagian bawah tiang rumah panggung saya sekarang sudah kelihatan di atas tanah, padahal sebelumnya di bawah tanah. Ini menandakan bahwa tanah terkikis habis. Tadinya tanah masih menutupi daratan hingga 30 meter di depan rumah saya. Namun sekarang tanah di bawah rumah saya pun sudah habis. Saya tidak tahu bagaimana nasib rumah saya ini dalam 10 tahun mendatang.
Sebagai pengepul ambaring dan terasi, saya memiliki gudang di depan rumah. Gudang ini untuk menyimpan hasil ambaring yang saya beli dari para nelayan dan terasi hasil olahan penduduk desa, sebelum dijual ke Tanjung Redeb, ibukota Kabupaten Berau, atau ke pembeli dari Lombok.
Akibat air pasang yang makin lama makin tinggi, jembatan yang menghubungkan rumah saya serta gudang penyimpanan ambaring ikut terendam. Sepuluh tahun lalu, tinggi air pasang masih sekitar 20-25 cm di bawah jembatan. Namun dari tahun ke tahun, air semakin tinggi. Hingga kini, jika air sedang pasang, bisa terendam setinggi 1-2 cm. Gudang tentunya ikut terendam. Untungnya telah dibangun jembatan baru yang lebih tinggi.
Pengalaman saya juga dialami oleh tetangga saya, Ibu Bunga Rosi. Ia, berusia 35 tahun, juga tinggal di pinggir sungai, tak jauh dari rumah saya. Ibu Rosi, yang sehari-hari menjadi ibu dari 4 orang anak dan juga berdagang barang kelontong, menuturkan bahwa air pasang semakin lama semakin tinggi. Sekarang, jembatan di depan rumahnya tergenang ketika air pasang. Gudang di depan rumah tempat menyimpan garam dan ambaring pun tergenang. Padahal ketika gudang dibangun, sekitar 5-6 tahun yang lalu, masih ada jarak satu siku atau kurang lebih 25 cm dari air pasang.
Jika air pasang semakin tinggi, Ibu Rosi khawatir gudangnya akan rusak. Selain itu, ia juga khawatir anak-anak yang senang bermain di pinggir sungai akan terbawa oleh gelombang pasang.
Warga kampung Pegat sangat khawatir akan tanah yang semakin berkurang. Warga sudah mulai memikirkan apa yang harus dilakukan untuk keluar dari masalah. Salah satu solusi yang terpikirkan adalah relokasi satu kampung. Sudah ada usulan tempat baru, yaitu daerah Usiran, yang letaknya tak jauh dari Desa Pegat Batumbuk, Kabupaten Berau. Usulan ini sudah disampaikan ke pemerintah daerah. Keluarga (anak dan istri) bisa tinggal di sana. Sementara para suami yang mata pencahariannya sebagai nelayan ambaring, bisa tetap mempertahankan rumah di Kampung Pegat sebagai tempat tinggal ketika mencari nafkah.