ANAK-ANAK SUKU BAJO : AKU SAYANG PENYU
Oleh Eddy Hamka
Pagi di akhir Januari lalu, saya dan Pak Arianto mengunjungi salah satu desa yang pernah mendapatkan pelatihan Better Management Pratices (BMP) ikan karang dan tuna, yaitu desa Mantigola dan Horuo (pemekaran desa mantigola) di pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi. Desa ini terpisah dari daratan utama, kira-kira sekitar 1 km dari pinggir pantai ke arah laut. Sepanjang jalan di sisi kiri dan kanan terdapat hutan mangrove yang sering dimanfaatkan nelayan sebagai bahan bakar (masak). Dari kejauhan terlihat rumah-rumah diatas laut, dihuni oleh suku Bajo. Tapi sayang, sejak tiga bulan yang lalu, sebagian jembatan ambruk sehingga akses ke darataan ataupun sebaliknya hingga saat ini masih menggunakan rakit/sampan/body (istilah suku Bajo dalam menyebut kapal/perahu).
Baru kali ini saya melihat langsung kehidupan suku Bajo tentang rumah mereka diatas air, kondisi kehidupan mereka yang 100% menggantungkan hidupnya dari laut. Kemampuan mereka mendayung “body” (kapal) baik laki-laki dan perempuan sama saja. Sumbangan emas selalu diberikan oleh suku Bajo dalam ajang Pekan Olahraga Nasional (PON), karena kelihaian masyarakatnya dalam mendayung itu. Rencananya kami akan melalukan survey terkait dengan evaluasi kepatuhan terhadap BMP penangkapan ikan karang dan tuna tahap dua yang bertujuan untuk melihat perkembangan implementasi BMP di wilayah tersebut serta identifikasi kendala. Roy, salah satu kader FORKANI (Forum Kahedupa Taudani) memandu survey ini.
Pada saat melakukan survey, tak sengaja saya melihat seorang anak sedang bermain-main dengan seekor penyu sisik. Hal tersebut menarik perhatian saya. Saya pun mengabadikan kejadian tersebut dalam bentuk foto dan video. Tak lama, sang Ibu memanggil anak tersebut dan memintanya segera pergi, takut anaknya ditangkap. Penyu di suku Bajo adalah isu sensitif. Apabila tertangkap memiliki penyu para aparat tak segan menjebloskan ke penjara. Mendengar penuturan Ibu tersebut, tim survey menjelaskan bahwa kami bukan aparat Jagawana Taman Nasional Takabonerate. Mendengar itu sang Ibu sedikit lega dan tersenyum kepada kami.
Kejadian itu terus terngiang di benak saya, saya pun memutuskan untuk bertanya kepada warga lokal yakni Pak Roy dan Pak Arianto. Ternyata, sejak era 1980-an hingga terbitnya peraturan yang melarang penangkapan penyu dan penetapan Taman Nasional Takabonerate, penangkapan dan penangkaran penyu pernah marak untuk kepentingan bisnis (dijual ke Bali) ataupun sekedar sebagai teman bermain anak-anak.
Ada yang menarik dari kisah penyu di suku Bajo, yaitu anak-anaknya terbiasa memelihara penyu sejak kecil hingga besar di masing-masing rumah. Menurut seorang guru yang bernama Pak Isdin, dulu sewaktu beliau masih anak-anak, ia sering memelihara penyu sejak kecil (seukuran telapak tangan), atau yang biasa disebut tukik, hingga dewasa (kira-kira 25 - 30 cm). Kemudian tukik tersebut dilepaskan dengan alasan sudah terlalu sulit dipelihara. Jika berbicara konservasi, maka hal tersebut akan berdampak pada kemampuan bertahan hidup penyu. Menurut mereka, tukik adalah santapan favorit ikan barracuda dan ikan besar lainnya, sehingga mortalitas mereka akan tinggi jika dilepas saat masih berukuran kecil atau tukik. Saya yang masih penasaran pun mencoba bertanya ke masyarakat lokal lain dan mendapati jawaban yang sama. Saya menyimpulkan bahwa anak-anak suku Bajo memiliki jiwa penyayang terhadap penyu, khususnya penyu sisik.
Sejak masih telur hingga ukuran dewasa, penyu diperlakukan oleh anak-anak suku Bajo layaknya hewan peliharaan lainya. Penyu diletakkan dalam pasir untuk ditetaskan (penyu yang umum kita lihat ketika sedang mengeluarkan dan menetaskan telurnya di pantai), diberi makan secara cukup, dan setiap hari diajak bermain-main di air. Tukik yang dipelihara ini diperoleh dari penyu yang bertelur dalam air kolam penangkaran atau dibawa oleh orang tua ketika mencari telur penyu di Pulau Hoga, Kaledupa serta beberapa pulau yang tidak berpenghuni disekitar Wakatobi.
Saya senang anak suku Bajo memperlakukan penyu dengan baik dan menyayangi penyu. Rasa penasaran yang masih membuncah membuat saya terus menggali informasi yang bersifat teknis seperti, desain kolam penangkaran yang pernah ada, asal tukik dari mana, bagaimana strategi adaptasi penyu dalam bertelur dalam penangkaran, dan bagaimana anak-anak suku Bajo memperlakukan penyu seperti hewan kesayangan. Ternyata dulu penyu pernah ditangkar di tempat seluas sekitar 50x50 meter dan dikelilingi dinding penutup yang cukup menampung minimal 20 ekor penyu dan jenis ikan karang (kerapu), namun lokasi tersebut kini sudah dihuni oleh beberapa masyarakat.
Menurut salah satu pengumpul ikan karang, banyak anak-anak dari Pulau Wanci dan Desa Mola Utara yang dulu sempat merawat penyu di penangkaran. Saya senang sekali melihat bahwa konservasi akan mampu bertahan dan berkembang di Wakatobi karena sejak kecil masyarakatnya sudah menyayangi binatang disekitarnya, pada kasus ini adalah kasih sayang kepada penyu.