SPHT LALUT BIRAI; WARISAN WWF DI JANTUNG BORNEO YANG TERLUPAKAN
Oleh: Masayu Yulien Vinanda
Sepertinya tak banyak orang yang tahu, jika di tengah hutan belantara ada sebuah Stasiun Penelitian Hutan Tropis (SPHT) yang didirikan di Lalut Birai, desa Long Alango. Tidak banyak pula yang mengetahui bahwa bangunan ini merupakan peninggalan WWF yang sudah berumur 18 tahun. SPHT lalut Birai didirikan oleh WWF dengan bantuan sejumlah donatur untuk meneliti perkembangan flora dan fauna yang ada di kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM).
Untuk mencapai SPHT Lalut Birai, Anda dapat mengandalkan ketinting (perahu kayu mini dengan kapasitas dua penumpang) dari Desa Pujungan maupun Desa Long Alango. Perjalanan menuju Lalut Birai dari Pujungan memakan waktu kurang lebih 3 jam, sedangkan jika Anda berangkat dari desa Long Alango, hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Namun perjalanan tidak berakhir sampai di situ. Untuk menyaksikan secara langsung Stasiun Penelitian Hutan Tropis Lalut Birai, Anda harus menyusuri rimba borneo dengan berjalan kaki selama 1 jam. Berbagai jenis flora dan fauna khas Kalimantan seperti serangga dan hewan melata lainnya akan menjadi pemandangan menarik yang akan Anda temui sepanjang perjalanan.
Keanekaragaman hayati yang sudah sejak dahulu dilestarikan oleh masyarakat setempat menjadi daya tarik khusus bagi para peneliti. Mahasiswa dari universitas-universitas di Kalimantan Timur juga kerap kali ‘magang’ dan melakukan studi di SPHT Lalut Birai. SPHT Lalut Birai juga memberikan kesempatan bagi peneliti dari luar negeri untuk melakukan penelitian di sana, di antaranya sejumlah peneliti dari Jerman, Denmark, dan Amerika Serikat.
Untuk kepentingan penelitian, SPHT Lalut Birai menyediakan sejumlah fasilitas. Di antaranya adalah laboratorium beserta perangkat pendukungnya dan pembangkit listrik tenaga surya untuk menunjang pekerjaan tim biologi yang bertugas . Bagi staf lokal yang sehari-hari tinggal dan melakukan penelitian intensif di SPHT Lalut Birai, juga disediakan mess staff, ruang pertemuan, dapur, gudang dan ruang makan.
Awalnya SPHT dikelola bersama, antara masyarakat dan WWF-Indonesia, dimana hampir semua staf SPHT lalut Birai adalah putra daerah Hulu Bahau.
Namun sejak tahun 2006, pengelolaan SPHT Lalut Birai sepenuhnya diserahkan kepada BPTU (Badan Pengelola Tana' Ulen). Menurut mantan Koordinator Staf WWF Lalut Birai, Ishak Baya, walaupun SPHT sudah dikelola oleh BPTU, WWF tidak sepenuhnya lepas tangan. WWF masih terus aktif membantu mencarikan donatur untuk mendanai pembangunan infrastruktur di sekitar SPHT Lalut Birai, seperti pembangunan jembatan maupun perawatan bangunan. Sayangnya, kondisi SPH Lalut Birai saat ini sangat memprihatinkan. Saat kami berkunjung ke sana, fosil-fosil babi hasil penelitian, peta contour, peta DAS, dan hasil penelitian lainnya penuh debu dan tidak terawat.
Menurut keterangan ketua seksi ekowisata BPTU, Tommy, BPTU sangat mengharapkan bantuan dari pihak lain, baik WWF sendiri, maupun Pemda Malinau. “Ya jujur BPTU masih menemukan kesulitan dalam mengelola Stasiun Penelitian ini. Terutama dari segi SDM yang terbatas, juga masalah pendanaan,” jelas Tommy. Tommy juga menambahkan sejak WWF tidak lagi beroperasi di Lalut Birai, yaitu sejak tahun 2004 lalu, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Lalut Birai semakin berkurang, termasuk jumlah peneliti yang bertandang ke SPHT juga mengalami penurunan.
Menanggapi kendala tersebut, WWF-Indonesia berjanji akan berkomitmen untuk terus membantu mencarikan donatur demi membantu pengelolaanSPHT. Project Leader WWF Kayan Mentarang, Dody Rukman, menjelaskan, “Lalut Birai berada dalam wilayah HoB. Jadi WWF tentu akan mengfungsikan kembali Lalut Birai sebagai wahana penelitian, pengembangan ekowisata, juga pembangunan kapasitas masyarakat lokal.” Dody juga menambahkan, WWF-Indonesia akan mendorong pengelolaan kolaboratif dengan Balai Taman Nasional Kayan Mentarang mengingat Lalut Birai termasuk dalam wilayah Taman Nasional tersebut.
Senada dengan Dody, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Malinau, Johnson Wan Usat juga mengemukakan perlunya pengelolaan secara kolaboratif untuk mengatasi permasalahan Lalut Birai tersebut. Johnson juga optimis kondisi SPHT akan membaik mengingat pemerintah daerah Malinau telah menetapkan Lalut Birai sebagai salah satu tujuan ekowisata dalam program Visit East Kalimantan 2009.
Semoga saja pengelolaan kolaboratif bisa secepatnya direaliasasikan mengingat betapa besar potensi yang dimiliki Lalut Birai dan SPHTnya. SPHT Lalut Birai bisa menjadi model pengelolaan laboratorium penelitian berbasis masyarakat. Transformasi ilmu pengetahuan dan ketrampilan masyarakat lokal dalam pengelolaan dan penelitian di SPHT selama ini adalah modal keberlanjutan pengelolaan SPHT di masa datang yang mandiri. Dalam jangka panjang, kehadirannya tak hanya berfungsi sebagai tempat penelitian dan observasi di bidang ekologi maupun klimatologi semata, lebih dari itu, yaitu sebagai satu di antara objek wisata unggulan TNKM.