PROF. HADI ALIKODRA: BADAK SATWA LANGKA, TERLEBIH BUKU KONSERVASI TENTANG BADAK
Oleh: Ciptanti Putri
WWF-Indonesia kembali menelurkan sebuah buku mengenai konservasi satwa liar. Kali ini mengenai badak, salah satu satwa ikonik Indonesia yang masuk dalam daftar merah IUCN, buku tersebut diberi judul “Teknik Konservasi Badak Di Indonesia”. Buku ini ditulis ‘keroyokan’ oleh 20 praktisi konservasi badak di Indonesia yang berasal dari berbagai macam institusi – seperti pemerintah, universitas, LSM, dan lain sebagainya – yang sudah bertahun-tahun melakukan penelitian mengenai konservasi in-situ dan ex-situ spesies badak, serta segi kebijakan yang mengatur regulasi perlindungan badak di Indonesia. Acara peluncuran buku setebal 270 halaman tersebut baru saja dilaksanakan di Rumah Makan “Joglo [at] Kemang”, Jakarta Selatan, pada Rabu (24/07) lalu, dihadiri oleh perwakilan dari Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, Balai Taman Nasional Ujung Kulon, Yayasan Badak Indonesia, kalangan akademisi, aktivis organisasi lingkungan hidup lainnya, sektor bisnis, dan publik figur pendukung gerakan konservasi alam.
Ditemui di akhir acara, penggagas buku yang juga salah satu penulisnya, Prof. Hadi Alikodra, menekankan bahwa badak merupakan salah satu spesies yang sangat membutuhkan perhatian dalam upaya pelestariannya. Tak hanya karena satwanya yang langka, namun buku mengenai konservasinya pun sangat langka. Karena secara fakta hanya ada dua buku yang menyinggung mengenai Badak Jawa dan Badak Sumatera, itu pun ditulis dalam bahasa asing oleh peneliti berkebangsaan Belanda, Nico Van Strien dan Hugo Alfen. Padahal, menurut Guru Besar IPB untuk Manajemen Satwa Liar ini badak merupakan spesies yang dapat menjadi percontohan bagi manusia dalam kelangsungan eksistensinya di muka Bumi.
Berikut ini bincang-bincang santai Lusia Febriana Arumingtyas, kontributor dari the Living Planet Magazine, dengan Prof. Hadi Alikodra mengenai buku “Teknik Konservasi Badak Di Indonesia.”
Tanya:
Mengapa buku ini disusun? Bagaimana prosesnya?
Jawab:
Buku ini tersusun karena ada masalah. Populasi Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) dan Badak Sumatera (Dicherorinus sumatrensis) cenderung berada pada kondisi kritis menuju kepunahan, bahkan habitatnya kian menyusut. Di Taman Nasional Ujung Kulon kini jumlahnya sekitar 50 saja, di Sumatera sekitar 200, ini kondisi kritis. Kalau sudah kritis begini, kita mau pakai buku (konservasi) mana? Ternyata sulit mencari rujukan buku tentang konservasi badak. Ada dua buku berbahasa asing buatan orang Belanda yang menceritakan tentang benteng terakhir Badak Jawa di Ujung Kulon, penulisnya Hugo Alfen, dan buku tentang konservasi Badak Sumatera, ditulis oleh Nico Van Strien. Mengapa tidak kita punya?
Banyak orang Indonesia yang bekerja dengan badak dan meneliti satwa ini; praktisi, aktivis lembaga swadaya masyarakat, pencinta lingkungan, peneliti, dosen, dan lain sebagainya. Akan tetapi, mengapa tidak ada yang menulis buku yang bisa menjadi rujukan? Jawabannya, mereka lambat. Pada 2000 saya punya ide ini, tetapi sulit mengajak teman-teman untuk ikut menulis. Maka di awal saya menulis sendiri saja, sampai akhirnya membentuk tim yang terdiri dari saya, Inov, Yusrandi, dan Kristionof. Sambil terus menulis dan mulai terbentuk naskah, kami menjilidnya dan mencari penerbit, namun kami kesulitan mencari pendana proyek buku ini. Ketika kami dapat dukungan dari International Rhino Foundation, mereka minta agar daftar isi menggunakan Bahasa Inggris. Saat itu rasanya malas sekali mengerjakannya, lalu naskah kami malah hilang entah kemana. Untunglah kemudian sejumlah teman membantu mencarikan dana dari WWF-Indonesia.
Tanya:
Apa target penerbitan buku ini?
Jawab:
Semua tulisan yang terhimpun di buku ini disusun dari berbagai skema; ada tentang DNA, populasi, ekosistem, teknik penangkaran, cara berkembang biak, hingga konservasi. Tentunya akan menjadi sesuatu hal yang penting untuk Indonesia. Oleh karena itu, target buku ini tak lain, pertama, bagaimana buku konservasi badak ini bisa digunakan pihak-pihak yang membutuhkan dan masyarakat luas. Target yang kedua, karena penulisnya banyak, maka hal ini menunjukan kita (praktisi dan akademi yang bergerak di bidang konservasi badak) kompak dalam bentuk tulisan dan memiliki potensi untuk menerbitkan buku bermanfaat lainnya.
Tanya:
Harapan Anda terhadap buku ini?
Jawab:
Semoga buku ini meningkatkan awareness masyarakat maupun pengusaha terhadap badak, agar jangan punah. Apa pun sumbangannya, pikiran kek, dana untuk penelitian kek, apa saja, atau menerbitkan apa pun, asalkan dalam rangka kelestarian badak. Yang penting ada perhatian dan tindakan nyata, yang menunjukan sebuah gerakan, meskipun untuk skala yang kecil.
Tentunya saya pribadi berharap badak akan lestari, karena badak itu spesies yang khas, semacam model satwa purba. Kalau sampai badak punah, maka kita tidak punya contoh sifat-sifatnya. Kisah tentang kesabarannya, perilaku-perilaku, gerakannya, semua yang ada di badak. Manusia dapat dan harus belajar dari badak. Bagaimana satwa ini memelihara alam, bagaimana dia mencintai pasangannya, bagaimana dia menjaga hubungan dengan sesama badak agar lestari, dan cara-cara mereka memelihara anak mereka. Sangat luar biasa. Semua itu bisa dibaca di dalam buku ini. Kita sebagai umat manusia harus menjaga badak. Kalau sampai satwa ini mati dan punah, kita sudah tidak ada lagi percontohannya.