#XPDCMBD: KILAS PANDANG SOSIAL
Penulis: Nara Wisesa (Program Monitoring and Evaluation Officer, WWF-Indonesia)
Maluku Barat Daya (MBD) adalah kawasan yang menarik, dan dalam ekspedisi ini, Tim Darat (Sosial) mendapatkan kehormatan untuk melihat dan mendapatkan informasi langsung mengenai kawasan ini. Secara sosial dan budaya, masyarakat yang tinggal di tiap pulau memiliki keunikan masing-masing. Sebagian masyarakat, terutama di pulau-pulau sebelah barat, sepertinya memiliki kekerabatan yang lebih dekat dengan masyarakat kepulauan Nusa Tenggara daripada dengan masyarakat Maluku pada umumnya. Beberapa dari mereka adalah turunan dari suku-suku Nusa Tenggara yang kalah perang dan terpaksa pergi melaut sebelum akhirnya menetapi pulau-pulau MBD. Sementara di pulau-pulau yang lebih ke timur, kekerabatan mereka sepertinya lebih dekat dengan masyarakat dari Kepulauan Tanimbar. Mayoritas dari masyarakat MBD beragama Kristen Protestan. Tradisi dan adat istiadat masih cukup kental, terutama terkait pernikahan dan pemerintahan desa. Bahkan di beberapa desa, fungsi kepala desa juga mencakup fungsi dari seorang raja, dan hanya masyarakat dari marga raja saja yang bisa mencalonkan diri menjadi kepala desa.
Walaupun MBD memiliki topografi kepulauan, hal ini tidak menyurutkan semangat masyarakatnya untuk mendapatkan akses pendidikan. Meskipun sarana dan prasarana pendidikan masih minim, sebagian besar penduduknya merupakan lulusan sekolah menengah, bahkan tidak sedikit yang menempuh jenjang perguruan tinggi.
Masyarakat MBD mempunyai modal sosial yang tinggi terkait ketertiban bermasyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai peraturan desa yang mengatur tata hubungan bermasyarakat, dimana kegiatan yang mengganggu ketertiban masyarakat mendapatkan sanksi hukuman yang cukup berat. Konflik sosial yang terjadi hanya bersifat kasuistis dan biasanya terkait dengan permasalahan pemanfaatan lahan. Konflik sosial yang terjadi biasanya dapat diselesaikan secara kekeluargaan dengan mediasi tokoh adat. Sistem hak kepemilikan tanah sebagian besar wilayah di MBD masih belum bersertifikat hak milik atau merupakan tanah adat. Namun pada beberapa daerah sudah mulai dilakukan sertifikasi sehingga kedepannya masyarakat mempunyai perlindungan hukum yang pasti dalam hak kepemilikan tanah.
Sistem sasi masih ditemui di hampir semua desa yang dikunjungi, walaupun saat ini sebagian besar sudah berbasis gereja dan proses pembukaan sasi sudah mengikuti permintaan pasar. Rata-rata pembukaan sasi di desa-desa tersebut adalah tiap 1-3 tahun sekali. Komoditas yang diberlakukan sasi diantaranya lola (Trochus niloticus), teripang (Holothuridae), dan batulaga (Turbo marmoratus). Ada beberapa desa juga yang memberlakukan sasi terhadap mata tujuh/abalon, biya garu/kima (Tridacna spp.) dan lobster. Terlihat bahwa semua komoditas ini memiliki nilai ekonomi tinggi bila dijual cangkangnya atau dikeringkan (kecuali lobster yang dibeli hidup). Sasi tidak diberlakukan terhadap komoditas ikan atau biota laut lainnya, yang dimanfaatkan sebagai sumber protein harian masyarakat. Di bagian barat MBD – Pulau Wetar hingga Pulau Sermata – pembeli komoditas sasi tersebut mayoritas berasal dari Sulawesi Selatan, sementara di bagian timur – sekitar Babar – pembelinya adalah para pedagang keturunan Tiongkok dari Tepa, Saumlaki, dan Tual.
Sebagian besar masyarakat di desa-desa yang dikunjungi memiliki sumber penghidupan utama dari berkebun. Mereka memanfaatkan hasil laut lebih hanya untuk memenuhi kebutuhan protein sehari-hari. Bahkan, di beberapa pulau yang tanahnya tandus dan tak memungkinkan untuk bercocok tanam, masyarakatnya masih lebih mengutamakan berbudidaya rumput laut atau membuat sopi untuk dijual. Walaupun sumbe daya ikan pelagis dan demersal di MBD sangat melimpah, masyarakatnya tetap kesulitan menyimpan ikan segar karena belum adanya infrastruktur penyimpanan dingin (cool storage), yang mana juga membatasi kemampuan mereka dalam menjual ikan segar. Hasil tangkapan ikan yang dijual antar pulau pun masih terbatas ikan yang diasinkan. Walaupun begitu, perikanan tetap menjadi sumber protein utama bagi masyarakat MBD dan menjadi bagian penting dari kehidupan harian dan budaya mereka.
Potensi sumber daya laut yang besar belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut cenderung hanya untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Kelompok organisasi pengelola dan pemanfaat sumber daya laut juga belum berkembang dengan baik, sehingga belum mampu menjadi penggerak dalam optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut yang dimiliki. Kelompok yang ada masih sebatas kelompok usaha bersama yang muncul ketika ada berbagai jenis bantuan.
Tantangan-tantangan utama yang dihadapi masyarakat MBD hingga saat ini adalah terkait penyimpanan ikan hasil tangkapan; keterbatasan teknologi alat tangkap; keterbatasan untuk mendapatkan bahan bakar; dan keterbatasan pemasaran komoditas hasil perikanan, budidaya, dan perkebunan. Selain itu, akses listrik, komunikasi, dan air bersih masih sangat terbatas di beberapa desa.