TERAPKAN PRAKTIK PERIKANAN RAMAH LINGKUNGAN DENGAN BMP
Penulis: Buguh Tri Hardianto (Capture Fisheries Assistant For Reef Fish and Shrimp Commodities)
Masyarakat pesisir di Indonesia mayoritas memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Salah satu sumber daya ikan yang menjadi komoditas unggulan bagi para nelayan untuk ditangkap adalah ikan karang, seperti kerapu sunu (Plectropomus leopardus), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kakap merah (Lutjanus malabaricus), dan katamba (Lethrinus lentjan). Sayangnya, masih banyak nelayan di Indonesia yang menangkap ikan karang dengan praktik penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Misalnya saja dengan menggunakan bom dan racun serta menangkap ikan karang dengan ukuran yang belum layak tangkap. Praktik tersebut membuat status sumber daya ikan karang di alam semakin memperihatinkan. Dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) No. 45 Tahun 2011 tentang status perikanan di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI), dijelaskan bahwa hampir seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI) menyandang status over-exploited dan fully-exploited untuk komoditas ikan karang.
WWF-Indonesia bekerja sama dengan LSM lokal yang tergabung dalam JARING-Nusantara melakukan pendampingan terhadap nelayan ikan karang untuk mengatasi isu tersebut. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah pelatihan Better Management Practices (BMP) Perikanan Karang kepada nelayan-nelayan dampingan Yayasan Eco Natural (Kelompok Nelayan Maju Bersama di Desa Kahu-kahu, Pulau Pasi Gusung, Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan), Yayasan KARSA Institute (Kelompok Nelayan Pulau Tiga di Desa Sausu Peore, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah), dan Yayasan LEMSA (Kelompok Nelayan Bersatu di Pulau Kodingareng Lompo, Makassar, Sulawesi Selatan) yang dilakukan pada tanggal 10-27 Februari 2016. Para nelayan dalam ketiga kelompok tersebut memiliki keadaan yang sama, yaitu hasil tangkapan yang terus menurun dan mereka ingin memperbaiki keadaan tersebut. Kebutuhan bahan bakar untuk operasional perahu meningkat karena lokasi tangkap yang semakin jauh, sedangkan hasil yang didapat sering tidak cukup untuk menutupi ongkos operasional. Penurunan stok ikan karang ini berdampak nyata pada ekonomi nelayan. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya melakukan praktik penangkapan ikan karang yang ramah lingkungan dan menjaga mutu hasil tangkapan tetap baik. Tentunya agar stok ikan kembali pulih dan nilai jual meningkat sehingga keberlanjutan mata pencaharian nelayan dapat terjaga.
Untuk mengetahui kesenjangan antara praktik penangkapan ikan karang yang dilakukan para nelayan dampingan dengan isi materi yang ada di dalam BMP Ikan Karang, dilakukanlah wawancara dengan para nelayan. Dari hasil wawancara pemenuhan awal tersebut diketahui ternyata 40.37% praktik penangkapan yang dilakukan para nelayan dampingan sudah sesuai dengan panduan yang ada di dalam BMP Ikan Karang. Ditemukan juga bahwa ada beberapa poin yang harus masih dipenuhi para nelayan agar sesuai dengan BMP Ikan Karang, yaitu bagian perizinan aktivitas penangkapan, perlengkapan yang dibawa saat operasi penangkapan, dan penanganan hasil tangkapan ikan karang. Ketiga poin inilah yang akan menjadi fokus Yayasan Eco natural, KARSA Instutute, dan LEMSA untuk melakukan pendampingan kepada para nelayan. Selain itu, pemahaman nelayan terhadap materi praktik penangkapan ikan karang yang ramah lingkungan dan menjaga mutu hasil tangkapan pun meningkat setelah pelatihan BMP Ikan Karang ini. Hal tersebut terlihat dari peningkatan nilai sebesar 9,1% poin dari hasil pre-test dan post-test yang dilakukan, dari rata-rata 60,4 menjadi 69,05.
Membangun Kesadaran Nelayan terhadap Praktik Perikanan Ramah Lingkungan
Berkaca pada pengalaman, para nelayan yang dulunya melakukan praktik perikanan yang merusak (destructive fishing) dengan bom dan racun sekarang mulai beralih ke praktik yang lebih ramah lingkungan. Mereka yang biasanya menangkap juvenil ikan karang, setelah pelatihan BMP Ikan Karang ini bersepakat untuk menggunakan mata pancing yang lebih besar agar yang didapat hanya ikan-ikan yang sudah layak tangkap. Tak hanya itu, para nelayan di masing-masing daerah dampingan juga berkomitmen untuk memperkuat kelompok nelayan agar lebih solid sekaligus menjaga lingkungan laut. Misalnya saja Kelompok Nelayan Pulau Tiga dari Desa Sausu Peore yang melakukan pengawasan Daerah Perlindungan Laut (DPL) secara swadaya. Selain itu, sebagai bekal data untuk menilai stok perikanan karang nantinya, para nelayan pun dilatih untuk selalu mencatat hasil tangkapan. Kesadaran-kesadaran inilah yang terus dibangun selama kegiatan pendampingan dan sosialisasi BMP Ikan Karang.
Selain ditekankan pentingnya menjaga ekosistem laut, para nelayan juga dibekali pengetahuan untuk menjaga kualitas tangkapan dengan melakukan penanganan pascatangkap yang baik. Hal ini ditujukan sebagai upaya menaikkan nilai jual tangkapan nelayan agar mereka berfokus pada kualitas tangkapan bukan hanya kuantitas. Dengan kualitas tangkapan yang baik, nelayan pun dapat memasarkan ikannya ke pasar yang lebih terbuka dan sehat, salah satunya ke Fish ‘n Blues, penyedia dan penyalur seafood ramah lingkungan pertama di Indonesia yang juga merupakan anggota Seafood Savers.