TEMPURUNG TAK BERTUAN
Oleh: Siti Yasmina Enita (Communication Officer Inner Banda Arc Subseascape)
Memasuki hari ketiga pendataan, saya dan tim lamun lainnya bergabung dengan tim A menuju ke site Wab Ngufar. Sebelum tim A melakukan penyelaman, kapal merapat ke pinggir pantai untuk menurunkan tim lamun di pantai. Kami pun menghampiri masyarakat yang sedang beraktivitas dipinggir pantai untuk memperkenalkan diri dan mencari informasi tentang lamun disekitar pantai tersebut.
“Kayanya ada lamun, disekitar situ...” seorang ibu yang kami hampiri menunjuk ke area yang berombak dan pasang sekitar 2-3 meter. Akhirnya kami memutuskan untuk berkeliling dan beramah tamah dengan masyarakat sekitar. Ibu tadi menyambut dua kapal kecil yang menepi di pantai, kami pun ikut menyapa.
Kedua nelayan tersebut baru selesai mincing di dekat pantai. Saya pun mengambil beberapa potret hasil tangkapan nelayan tersebut, terlihat genus pterocaseio, carangoides dan sejenis barracuda kecil dalam kapal. Setelah berbincang singkat, ibu dan kedua nelayan tersebut memindahkan ikan-ikan hasil tangkapannya ke keranjang kecil lalu pergi.
“Syenit tadi lihat tempurung penyu?” tanya Mas Iqbal. “Penyu? Dimana?” tanyaku, karena tidak merasa melihat ada penyu dari awal sampai tadi. “Di daerah sana, tapi tempurungnya aja” jawab Mas Iqbal. Karena penasaran, kami kembali ke titik awal saat turun dari kapal dan benar saja ada sebuah tempurung terlihat dari kejauhan.
Kami coba dekati untuk melihat lebih detail, bau busuk mulai tercium. Iya, penyunya sudah membusuk. Bahkan sudah tidak ada bentuk tubuhnya lagi, yang tersisa hanyalah tempurung, bau busuk dan belatung yang mengurai disekitarnya. Dilihat dari tempurungnya, penyu tersebut termasuk ke dalam jenis penyu sisik (Eretmochelys imbricate). Selama dua hari menyelam, saya sudah melihat dua ekor penyu di sekitar terumbu karang. Penyu yang sekarang tidak masuk hitungan.
Dari kejauhan, seorang bapak menghampiri kami. Kami pun memperkenalkan diri, bapak tersebut juga seorang nelayan di Wab Ngufar. Melihat saya yang masih mencoba mengamati tempurung penyu. Beliau pun bercerita tentang kisah sebuah keluarga yang meninggal bersamaan diduga keracunan setelah mengkonsumsi daging penyu.
“Tidak ada yang pernah sengaja menangkap penyu. Penyunya sendiri yang terjebak di jaring, kalau sudah begitu kan jadi ditangkap saja. Dulu masih banyak yang mengkonsumsi daging penyu, namun setelah kejadian itu, tidak ada lagi yang berani makan daging penyu. Jadi kalau tidak sengaja tertangkap dan sudah mati, dibiarkan dipinggir pantai hingga membusuk” cerita nelayan tersebut, sambil menunjukan tempurung lainnya. Masyarakat di Wab Ngufar tidak menjual tempurung penyu yang sudah membusuk itu. Tempurung dibiarkan di pantai hingga tertimbun pasir.
Status penyu sisik sudah termasuk terancam punah (critical endangered/CR) dalam IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources). Meskipun penyu bukan tangkapan target masyarakat Wab Ngufar namun penyu yang tertangkap secara tidak sengaja pun harus diminimalisir. Salah satunya bisa dengan menggunakan jaring ramah lingkungan yang menggunakan LED Hijau.