SIGNING BLUE: AGAR WISATA BAHARI MENJAGA LAUT LESTARI
Oleh: Luh Putu Sugiari & Wahyu Ardianta (Pewarta Warga, BaleBengong)
Pagi itu, Pantai Tanjung Benoa di kawasan selatan Bali terlihat tenang. Matahari pun hangat menyentuh tubuh. Mesin-mesin kapal mulai dihidupkan bersahut-sahutan. Sangat bising. Orang-orang ramai memenuhi setiap sisi pantai. Ruang terbuka itu pun terasa sesak.
Turis hilir mudik di pantai berpasir putih itu. Hampir semuanya wajah-wajah warga negara asing. Kulitnya putih, rambutnya agak merah. Tawa-tawa tak pernah lepas dari wajah mereka. Seperti umumnya turis, mereka juga saling berpose dan berekspresi penuh seceria lalu diabadikan dalam bidikan kamera.
Di tempat lain, beberapa orang sedang sibuk memasang perlengkapan di tubuh dan bersiap untuk mencoba waterspot yang ada. Mulai dari banana boat, flying fish, wave runner, parasailing, scuba diving, seawalker dan yang lainya.
Di antara riuh pantai dan para turis itu, beberapa anak berlarian. Umurnya sekitar 7-10 tahun. Mereka berlari ke sana kemari. Bukan untuk bermain pasir atau menikmati laut, tetapi membawa keranjang. Tangan kiri memegang keranjang agar tidak jatuh saat angin laut menyambut. Tangan kanannya memegang manik-manik berupa kalung dan gelang.
Dengan wajah polos dan penuh keberanian mereka menawarkan manik-manik itu kepada wisatawan asing yang berkunjung. Namun, tak satu pun wisatawan membelinya. Anak-anak yang seharusnya hanya belajar dan bermain itu kini harus menjajakan lagi satu per satu barang mereka kepada turis yang berlibur di tanah kelahiran mereka, Bali.
Tanjung Benoa bisa menjadi contoh bagaimana acak adutnya tata kelola pariwisata Bali saat ini. Kapal-kapal pengangkut turis dari Tanjung Benoa berseliweran di antara turis-turis lain yang menikmati atraksi wisata air. Di lokasi yang sama terdapat pula tempat snorkeling dan menyelam.
Jumlah turis juga seolah tak terkendali. Berapapun diterima. Padahal, daya dukung alam, apalagi pantai pasti ada batasnya.
Tanjung Benoa, lokasi favorit wisata pantai di Bali, mungkin bisa menjadi petanda kian sesaknya Bali akibat pariwisata yang tidak berkelanjutan. Padahal, pariwisata adalah napas Pulau Bali. Jika napasnya sesak, maka aktivitas apapun akan menjadi terhambat.
Dosen Fakultas Pariwisata I Nyoman Sukma Arida mengatakan jika tidak dikelola dengan baik, kondisi ini bisa menjadi bumerang bagi Bali yang amat tergantung pada sektor pariwisata sekaligus jendela pariwisata Indonesia. Wisata bahari di satu sisi bisa menciptakan peluang, tetapi di sisi lain juga bisa menjadi ancaman.
“Di satu sisi potensi bisa dikembangkan, tetapi di sisi lain peluang untuk terancamnya ekosistem menjadi lebih besar,” kata Dosen Fakultas Pariwisata Universitas Udayana Bali ini.
Sebagai etalase pariwisata Indonesia, Bali pun saat ini menghadapi ancaman tersebut. Sebagian pariwisata bahari di Bali, menurut Sukma, tidak menjaga ekosistem laut. Misalnya di pantai Lovina, Bali bagian utara yang terkenal sebagai tempat menonton luma-lumba. Saat pagi hari jumlah pengunjung yang ingin menikmati wisata lumba-lumba melebihi kapasitas.
“Jika hal ini terus berlangsung, lumba-lumba akan pergi. Seharusnya ada tindakan konservasi jangan hanya eksploitasi,” jelasnya.
Bergerak Mencintai
Berangkat dari kepedulian agar pariwisata bahari tidak merusak alam itu, Yayasan WWF-Indonesia menggagas program Signing Blue.
Indarwati Aminuddin, Responsible Marine Tourism and Free Plastic Ocean Program Manager, WWF-Indonesia, mengatakan program ini digagas sejak 2013 diawali dengan perencanaan. Sebagai organisasi konservasi independen terbesar di Indonesia, WWF menjadi salah satu pelopor program penyelamatan alam beserta isinya.
Seiring pesatnya pembangunan dan aktivitas wisata yang sangat tinggi, menurut Panca, kawasan wisata memerlukan perhatian lebih dalam pengelolaan lingkungan, budaya, dan sumber daya manusianya. “Hal ini yang melatarbelakangi terbentuknya program Signing Blue,” ujarnya.
Program Signing Blue menjadi wadah bagi setiap pelaku wisata, seperti hotel, tour operator, kapal rekreasi, termasuk wisatawan agar melakukan kegiatan pariwisata tanpa lepas dari tanggung jawab menjaga lingkungan. Harapannya kepada seluruh pelaku sektor pariwisata turut bertanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan.
Wayan Agung Panca, Sekretaris Signing Blue, menjelaskan, ada tiga indikator dalam penilaian Signing Blue bagi rekanan WWF yaitu lingkungan, sosial budaya dan efektivitas manajemen. Dari tiga indikator tersebut, akan dikelompokkan kembali dengan standar dan syarat lebih tinggi, hingga rekanan akan mendapat predikat star fish.
Star Fish terdiri atas lima kategori di mana kategori paling rendah adalah Star Fish 1 dan tertinggi Star Fish 5. Star Fish 1 diberikan kepada pihak yang mendokumentasikan komitmen yang dibuat. Misalnya dokumentasi terkait dengan tanggung jawab jejak ekologi ataupun sosial, ekonomi, dan budaya.
Kategori Star Fish 2 dan 3 yakni partnership yang mampu memberikan edukasi serta mampu memberikan pelatihan terhadap karyawannya. Kategori Star Fish 4 dan 5, fokus pada pengembangan eksternal. Termasuk cara mengedukasi pihak lain untuk bisa ikut bergabung menjadi anggota dalam Signing Blue.
Baca Selanjutnya: Yuk, Belajar dari Praktik Terbaik Pariwisata oleh Mitra Signing Blue di Bali
Liputan ini merupakan buah karya pewarta warga dalam Anugerah Jurnalisme Warga, kolaborasi BaleBengong, portal jurnalisme warga di Bali, bersama WWF-Indonesia.