SEMERBAK WANGI KOPI SRIKANDI DARI SUMATRA SELATAN
Kabut masih menyelimuti desa Ngarip di kaki gunung Tanggamus pagi itu, saat puluhan perempuan berkumpul di ruangan kecil milik Koperasi Srikandi sambil mendengarkan pemaparan dari Sri Wahyuni. Pagi itu para anggota mengikuti pertemuan rutin dari KSU yang diadakan 2 kali setiap bulan.
Sri Wahyuni, perempuan yang separuh hidupnya dihabiskan dengan berkebun kopi itu bercerita tentang bagaimana ia dan beberapa perempuan di desanya menginisiasi berdirinya kelompok Srikandi, kelompok perempuan yang saat ini sudah berbadan hukum koperasi.
Lahir dan besar di tengah-tengah keluarga petani kopi tak membuat Sri Wahyuni muda paham betul tentang bertani kopi. Keterbatasan pekerjaan di desa pun akhirnya mendorongnya untuk mengadu nasib ke Jakarta, bekerja di sebuah pabrik selama bertahun-tahun. Hingga akhirnya ia terpikir untuk pulang ke desanya dan menjadi petani kopi.
“Awalnya saya tidak paham betul tentang bertani kopi yang baik. Setelah pulang dari Jakarta, saya ikut kegiatan WWF yang sedang melatih petani kopi untuk budidaya yang berkelanjutan. Saya pun menjadi salah satu peserta dan tergabung dalam Kelompok Wanita Tani.”
Awal perkenalannya dengan WWF Indonesia itulah yang kemudian menjadi cikal bakal kelompok Srikandi yang ia rintis bersama dengan perempuan lain di desanya. Kelompok ini terbentuk di Tahun 2015 pasca pelatihan yang dilakukan oleh WWF bersama dengan Rumah Kolaborasi, gabungan LSM lingkungan di Lampung.
“Dari 31 orang yang ikut dalam pelatihan, hanya 18 orang yang memiliki komitmen untuk membentuk Kelompok Simpan Usaha (KSU) dan akhirnya berhasil terbentuk pada Agustus 2015. Hingga 2018, anggota kelompok ini sudah mencapai 200 orang yang semua anggotanya adalah perempuan. Awal berdirinya Srikandi, disepakati unit usaha yang ingin dibentuk adalah bubuk kopi. Alasannya sederhana. Karena daerah ini merupakan salah satu sentra kopi di Lampung. Sebagian besar masyarakat desa Ngarip adalah petani kopi, tapi selama ini kami selalu membeli bubuk kopi dari luar. Kami berharap dengan mengolah kopi biji menjadi kopi bubuk oleh kelompok Srikandi ini, peran perempuan dalam mendorong perekonomian di desa dapat ditingkatkan.”
Melalui KSU, Sri Wahyuni dan pengurus kelompok merintis pembiayaan skala mikro di desa yang akhirnya berhasil membantu perekonomian masyarakat desa.
Kelompok yang ia bentuk bersama perempuan lain di desanya berkembang cukup cepat. Hanya dalam waktu setahun, anggota KSU telah menjadi 120 orang dan mampu membagi Sisa Hasil Usaha sebesar 33 juta kepada anggota. Di akhir 2017, anggotanya bertambah menjadi 160 orang dan SHU yang dibagikan pun meningkat menjadi 58 juta. Hingga akhir 2018, anggota KSU yang bergabung telah berjumlah 200 orang dan SHU yang dibagikan ke anggota sudah mencapai 100 juta.
“Dalam kegiatan simpan pinjam ini, pekerjaan kita adalah mengubah perilaku masyarakat. Mengubah kebiasaan mereka agar tidak mengutang ke tengkulak saat paceklik dan belajar untuk menyimpan uang saat panen. Sehingga Konsep KSU Srikandi adalah agar dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sehingga tidak lagi merusak hutan.” Ucap Sri Wahyuni bersemangat.
Ini menjadi kisah sukses dari perempuan-perempuan yang ada di desa Ngarip dalam mendorong pengembangan ekonomi berbasis masyarakat pedesaan. Model pembiayaan micro-finance yang telah dipraktekkan oleh Koperasi Srikandi telah memberikan banyak keuntungan bagi masyarakat desa dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebagai modal usaha mereka lewat menabung. Berkat usaha unit bubuk kopi Srikandi yang mereka rintis, setiap tahun penjualan meningkat, meskipun pemasarannya terbatas di area Ulubelu dan sebagai cinderamata bagi tamu yang berkunjung. Selain itu, banyak diantara anggota koperasi yang sudah menerapkan pola pertanian berkelanjutan setelah mendapatkan pelatihan sekolah lapang pertanian berkelanjutan dari WWF Indonesia. Petani kopi yang menerapkan budidaya berkelanjutan termasuk perempuan di desa tersebut telah memiliki pengetahuan ekologis yang penting dalam mengelola sumber daya yang mereka miliki yang merupakan modal penting dalam pembangunan pedesaan yang berkelanjutan.