SAATNYA KOMUNITAS PARIWISATA LOKAL WAKATOBI BERGERAK!
Oleh Indarwati Aminuddin & Martina Rahmadani (Responsible Marine Tourism Team, WWF-Indonesia)
Setelah hampir 10 tahun bergerak menjadi kepulauan bahari berbasis kepariwisataan dan perikanan berkelanjutan, tantangan berat untuk melibatkan komunitas secara aktif masih tetap membayangi Pemkab Wakatobi. Komunitas harus menjadi kelompok penerima keuntungan dari industri pariwisata dan perikanan, tidak hanya jadi penonton—bahkan termarjinalisasi—laju pariwisata yang digerakkan pihak luar. Jangan sampai Wakatobi kehilangan gairah untuk ‘berkelanjutan’!
Di Pulau Kaledupa, nama La Beloro, La Dii, Wa Rika, dan Edi Jaimu adalah orang-orang yang cukup dikenal karena mengorganisir kelompok nelayan dan pariwisata lokal. Organisasi mereka yang bernama ""Forum Kahedupa Toudani"" (Forkani) dikenal kritis dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat lokal. Perjuangan berlangsung sejak 2005, saat jumlah kunjungan ke Wakatobi per tahunnya hanya sekitar 3.000-an orang; sebagian besar diserap oleh tour operator besar. Mereka memiliki kerisauan yang sama, yaitu pertumbuhan pariwisata mengerucut pada pihak yang memiliki akses informasi, komunikasi, modal, dan transportasi. “Sayangnya, komunitas kami bukan salah satu dari pihak yang memiliki akses-akses tersebut,” kata La Beloro.
Semuanya dimulai secara bertahap. Diawali dengan diskusi bersama Operation Wallacea agar lembaga tersebut berkomitmen mendorong para peneliti–mayoritas warga negara asing–berkunjung ke berbagai pelosok desa. Kunjungan tersebut terbukti memberikan pemasukan kepada masyarakat melalui jasa transportasi, penjualan makanan, atau suvenir. Diskusi juga dilakukan dengan Dinas Pariwisata Wakatobi untuk program destinasi dan tour operator. Sayangnya tamu komunitas sangat tergantung dari musim dan kebaikan hati tour operator sehingga jumlahnya tidak terlalu banyak. Hal ini menyebabkan ide pengembangan pariwisata berbasis komunitas menguap begitu saja.
“Kalau ini dibiarkan maka tingkat kebocoran keuntungan pariwisata terjadi secara cepat di tingkat komunitas. Tak ada yang masuk ke komunitas, semua urusan selesai di kota, pemesanan tiket dan hotel, kuliner, belanja produk, dan sebagainya,” jelas Rika. Menurutnya, ketika perasaan frustasi karena hanya menjadi ‘penonton’ di rumah sendiri itu menyerang, komunitas berpotensi memanfaatkan sumber daya alam secara serampangan.
Untuk memotivasi komunitas dalam memanfaatkan potensi pariwisata secara maksimal demi meningkatkan kualitas hidup mereka, perlu diperhatikan sejumlah faktor seperti peningkatan kapasitas komunitas tersebut, membangun jaringan dengan pasar, promosi dan pemasaran, serta mendorong regulasi yang mendukung.
Untuk tujuan tersebut maka pada 30 Maret hingga 4 April 2015 lalu, WWF-Indonesia mengadakan pelatihan peningkatan kapasitas fasilitator lokal di Pulau Kaledupa demi mendorong pariwisata berbasis komunitas. Kegiatan yang diampu oleh IBK Yoga Armaja ini diikuti oleh perwakilan organisasi Forkani (Kaledupa), Komunto (Tomia), Foneb (Binongko), dan Komanangi (Wangi-Wangi). Pelatihan dilakukan dengan mengkombinasikan praktik dan teori yang mendorong peserta untuk memahami inti pariwisata berkelanjutan beserta prinsip, unsur dan unit usaha yang perlu dikembangkan, serta strategi pelibatan pihak lain dalam penguatan usaha. Setelah mengikuti pelatihan ini, diharapkan para peserta menyebarluaskan ilmu pariwisata yang diperoleh selama pelatihan ke komunitas target. Di sesi akhir pelatihan, peserta berhasil merancang paket-paket perjalanan kecil yang selanjutnya akan ditawarkan ke pasar yang lebih luas.
Dalam uji coba “Cerita apa yang perlu dibagi ke turis?”, peserta pelatihan menyadari bahwa masa depan sumber daya yang mereka miliki saat ini ada di tangan mereka. “Sekarang, mau dilestarikan atau tidak sepenuhnya tergantung warga sini,” jelas Beloro. “Dan kami berharap peserta pelatihan mampu menjadi agen perubahan untuk mendorongkan pelestarian berjalan selaras dengan kepariwisataan,” tambahnya.
Tentang Komunitas di Wakatobi
Sebagian besar komunitas Wakatobi bekerja di bidang kuliner, perikanan, transportasi dan kerajinan cinderamata. Seperti halnya komunitas lain dalam sebuah kawasan konservasi, komunitas di Wakatobi tinggal di wilayah dengan tingkat keanekaragaman hayati tinggi. Masuknya turis sering kali berdampak pada cara pandang komunitas lokal terhadap pemanfaatan sumber daya alam yang mereka miliki. Mengapa mereka bisa? Mengapa kami tidak? Serta berpeluang menggeser budaya.
WWF-Indonesia mendorongkan konsep pengelolaan pariwisata bahari yang bertanggung jawab dengan menghargai komunitas yang hidup di wilayah tersebut. Cara pandang ini berbasiskan pada keyakinan bahwa pengutamaan dan penghormatan terhadap komunitas lokal dapat membantu komunitas tersebut memiliki rasa bangga sehingga mendorong mereka untuk menjadi “tuan rumah” di wilayahnya sendiri. Dalam posisi ini, komunitas lokal mendapatkan hak untuk dilibatkan secara aktif dalam menyusun dan mengembangkan pariwisata bahari, serta memiliki akses terhadap pemanfaatan sumber daya alam dan ekonomi sektor pariwisata.
Pelatihan bagi fasilitator lokal merupakan pelatihan awal yang diharapkan dapat menghasilkan kader-kader konservasi tangguh, yang mampu menjembatani usaha pariwisata dan gerakan konservasi yang memperkuat posisi Taman Nasional Wakatobi. “Seperti dua sisi mata uang, keduanya punya nilai sama. Bila fasilitator memiliki kapasitas cukup untuk menghasilkan kader-kader lokal lainnya, maka secara perlahan kita telah mendorong komunitas memiliki akses terhadap kepariwisataan,” jelas Beloro.