RISET HIU PAUS DIKEMBANGKAN DI TN. TELUK CENDERAWASIH
Oleh: Masayu Yulien Vinanda
Nabire (10/05)-Di ujung timur laut Indonesia, tepatnya di kawasan konservasi Teluk Cenderawasih, Papua, sekawanan raksasa ikan, Hiu Paus (Rhincodon typus) kerap kali menampakkan dirinya di permukaan air. Umumnya mereka muncul di sekitar bagan (rumah terapung tempat menangkap ikan) yang banyak ditemukan di sepanjang perairan Kwatisore. Temuan inilah yang kemudian mendorong WWF-Indonesia menginisiasi pengembangan riset hiu paus (whale shark) di wilayah perairan tersebut.
Bekerjasama dengan Balai Besar Taman Nasional Teluk Cendrawasih dan Papua Pro (operator ekowisata), WWF-Indonesia menggelar workshop monitoring whale shark di Nabire pada 2-7 Mei 2011. Sejumlah pemangku kepentingan kunci seperti Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire, pengelola Taman Nasional, perwakilan perguruan tinggi setempat serta masyarakat adat dilibatkan secara aktif dalam tahap awal riset hiu paus tersebut.
Peneliti senior lembaga penelitian non profit berbasis di California, HUBBS Seaworld Institute, DR. Brent Stewart memberikan pengetahuan dasar tentang hiu paus serta berbagi pengalamannya melakukan riset dan monitoring hiu paus di sejumlah negara seperti Australia, Filipina, Kenya, dan Maladewa. Pembekalan materi di kelas selama dua hari lalu dilanjutkan dengan praktik di lapangan yaitu memasang tag dan identifikasi hiu paus menggunakan kamera digital underwater.
Sebuah tag yang terhubung dengan satelit atau dikenal dengan istilah pop-up tag berhasil dipasang di tubuh hiu pada hari pertama rombongan workshop tiba di kwatisore. Tagging atau penandaan itu bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang pergerakan hiu paus disamping informasi tambahan mengenai kondisi lingkungan hiu paus yakni tekanan, level cahaya, suhu dan kedalaman laut. Informasi itu penting sebagai identifikasi awal daerah penting bagi hiu paus guna mendukung upaya perlindungan ikan terbesar tersebut.
“Saya melakukan free dive untuk mendekati hiu paus. Setelah jarak saya dan hiu paus cukup dekat, maka saya menggunakan spear gun untuk menembakkan tag tersebut di bagian samping dorsal fin. Tidak terlalu dalam, umumnya hanya sekitar 4cm atau kurang dari itu,” jelas Brent.
Tag dipasang di bagian sirip punggung (dorsal fin) karena di daerah itu terdapat banyak lemak, sehingga pemasangan tag tidak akan menyakiti atau mengganggu hiu paus. Setelah tag terpasang, maka enam bulan kemudian tag akan terlepas secara otomatis dari tubuh hiu dan mulai mentransmisikan data melalui satelit.
Menurut Brent, melakukan tagging maupun pengamatan hiu paus di Kwatisore lebih mudah dibandingkan wilayah perairan di negara lain yang pernah menjadi lokasi risetnya. Di kawasan Teluk Cenderawasih, hiu paus sering memunculkan dirinya ke permukaan dan terlihat “acuh” dengan keberadaan manusia di dekatnya.
“Hari pertama kami datang, kami sudah menjumpai seekor hiu paus yang akhirnya kami pasang tag. Lalu, beberapa individu lainnya pun mulai bermunculan. Hari berikutnya, kami mendatangi satu bagan, disana ada sekitar 5 sampai 7 hiu paus. Kami berenang selama 4 sampai 5 jam bersama sekawanan hiu paus itu. Luar biasa. Di sini kita punya banyak kesempatan untuk mengamati mereka, kita juga bisa memasang tag dengan mudah dan cepat, di sini kita bisa melakukan banyak sampling,” imbuhnya.
Sementara para peserta workshop lain dan tim monitoring WWF-Indonesia melakukan identifikasi hiu dengan memotret pola spot di tubuh hiu menggunakan kamera underwater. Seperti layaknya sidik jari pada manusia, pola titik-titik di tubuh hiu itulah yang bisa membedakan individu yang satu dengan lainnya.
Bagian spesifik yang difoto adalah spot yang berada di atas pectoral fin bagian kiri atau kanan karena spot pada bagian tersebut tidak terlalu rapat dibandingkan bagian tubuh lainnya. Selain itu bekas luka juga dapat digunakan sebagai penanda identifikasi yang membedakan individu satu dengan individu lain.
Ratusan foto hiu yang telah dikumpulkan nantinya akan dijadikan database yang akan memudahkan analisa informasi pergerakan hiu paus serta memperkirakan jumlah hiu paus di suatu lokasi.
Selain peningkatan pengetahuan tentang hiu paus, pelatihan multipihak ini diharapkan mampu menjadi wadah untuk menghimpun gagasan, ide, dan komitmen bersama dari para pemangku kepentingan kunci dalam mengelola hiu paus di wilayah konservasi laut tersebut.
“Setelah monitoring ini, tentunya saya harapkan akan ada komitmen bersama yang dituangkan dalam sebuah rumusan yang konkrit berupa protokol monitoring hiu paus. Pemerintah, swasta, masyarakat, perguruan tinggi dan LSM perlu bersinergi dalam upaya pengelolaan Hiu Paus termasuk pengawasan untuk mencegah ancaman terhadap populasi dan habitatnya,” jelas Project Leader WWF-Indonesia Proyek TNTC Beny Ahadian Noor.
Beny juga optimis keunikan hiu paus di perairan Teluk Cenderawasih akan mampu menjadikan kawasan konservasi laut terbesar di Indonesia itu sebagai pusat penelitian hiu paus, baik di tingkat nasional maupun internasional.