PROSPEK MADU SIALANG TESSO NILO KIAN MENJANJIKAN
Oleh: Masayu Yulien Vinanda
Jakarta (25/10)-Berkat panen madu lestari dan higienis, madu sialang dari sekitar kawasan konservasi TN. Tesso Nilo, Provinsi Riau, kini berhasil mengembangkan pangsa pasarnya. Pasalnya tiga bulan pasca ekspor satu ton madu ke TLH Product Industries Sdn Bhd pbulan Juni lalu, perusahaan asal negeri Jiran tersebut kembali memesan satu ton madu sialang Tesso Nilo melalui Asosiasi Petani Madu Hutan Tesso Nilo (APMHTN).
Hal itu merupakan pertanda baik bagi masa depan madu Tesso Nilo mengingat selama ini kendala terbesar yang dihadapi Asosiasi dalam mengembangkan usaha madu organik tersebut adalah pasar. Melalui APMHTN, wadah petani madu hutan Tesso Nilo yang diinisiasi WWF pada 2009, WWF berupaya mendorong para petani madu sialang untuk menerapkan panen lestari dan higienis sesuai standar Internal Control System (ICS).
Hingga kini, APMHTN mendampingi petani di tiga desa yaitu Lubuk Kembang Bunga, Gunung Sahilan, dan Air Hitam. Menurut Community Engagement Module Leader WWF-Indonesia Program Riau Adi Purwoko., dengan adanya pasar yang menjanjikan maka Asosiasi dapat mendampingi lebih banyak lagi desa penghasil madu sialang yang jumlahnya mencapai 16 desa.
“Potensi madu sialang di Tesso Nilo itu mencapai 30 ton perbulannya. Saat ini, dari tiga desa tersebut, Asosiasi menyerap rata-rata 600 kg madu perbulannya. Ini berarti hanya 2 %nya saja. Nah dengan adanya pasar yang luas, maka kami dapat ekspansi ke 13 desa lainnya, mengajak petani-petani madu yang lain untuk bergabung di Asosiasi dan tentunya menerapkan panen lestari dan higienis,” imbuhnya.
Lebih jauh lagi untuk meningkatkan harga madu di pasaran, WWF juga tengah mengupayakan madu dari APMHTN ini untuk mendapat sertifikasi dari Aliansi Organik Indonesia (AOI). Untuk memenuhi standar sertifikasi AOI, maka selain proses panen ICS, para petani juga harus menerapkan sistem administrasi yang baik misalnya harus ada log book yang mencatat secara detail asal usul madu yang dipanen. Log book ini diantaranya berisi informasi mengenai wilayah panen madu, termasuk identitas pohon sialang (status kepemilikannya), ada berapa sarang yang dipotong, inspektoratnya siapa, dan lain sebagainya.
“Kalau itu bisa dijalani, maka AOI akan menerbitkan sertifikat untuk kelompok in. Kalau sertifikat sudah didapat, maka pasar akan lebih luas lagi karena ada beberapa perusahaan besar yang hanya membeli madu-madu organik yang bersertifikat. Rencananya pada pertengahan November ini, AOI akan datang ke Tesso Nilo untuk mereview kembali apakah madu APMHTN tersebut sudah memenuhi standar AOI atau belum. “ jelas Adi.
Selain madu organik, Madu sialang Tesso Nilo ternyata juga menyimpan potensi ekonomi lainnya. Sarangnya merupakan bahan baku yang berkualitas untuk pembuatan lilin. Di Asosiasi sendiri pembuatan lilin madu ini sudah dilakukan. Hasilnya, sejumlah perusahaan di Surabaya, Jogja, dan Medan telah rutin melakukan pemesanan. Perkilogramnya lilin madu dijual seharaga 25 ribu rupiah.
Ke depannya, WWF-Indonesia Program Riau juga akan mengembangkan lilin madu ini sebagai usaha alternatif selain madu organik. Menurut Adi Purwoko, lilin madu tersebut bisa diolah menjadi sabun, kosmetik, dan lilin untuk terapi. “Rencananya kami akan mencari pihak luar yang bisa memberikan pelatihan mengolah lilin madu tersebut untuk para petani. Lilin ini lebih tahan lama dibanding lilin parafin. Harga di pasaran juga cukup mahal. Jadi saya rasa ini bisa menjadi peluang yang baik untuk meningkatkan perekonomian masyarakat di sekitar kawasan TN. Tesso Nilo,” pungkasnya.