PROFIL PRIYONO: DARI LOGGER MENJADI "CONSERVATIONIST"
Oleh: Tira Maya
Sebelum terbentuknya Taman Nasional Sebangau, setelah masa HPH berakhir nihilnya kontrol terhadap kawasan Sebangau menyebabkan pembalakan liar merajalela. Pada fase pengusahaan hutan dan fase illegal logging inilah kanal-kanal dibuat untuk mengalirkan kayu-kayu tebangan dari dalam hutan. Akibatnya, kondisi gambut sekitar menjadi rusak dan rentan terjadi kebakaran.
Priyono, yang dikenal dengan panggilan Supri menjadi saksi hiruk pikuk masa konsesi tersebut. Tahun 1998 pria asli Madiun ini bermigrasi ke Kalimantan Tengah dengan harapan janji-janji kayu yang kala itu sangat melimpah. Bekerja menjadi illegal logger (pembalak liar) dari rekomendasi pamannya di Sebangau Kuala. “Saat itu jaman illegal logging tahun 1998-2005 saat bekerja dengan seorang cukong, setiap hari kami membuat kuda-kuda didalam hutan, kemudian gelondongan kayu-kayu tersebut dibawa ke parit lalu dilarutkan ke muara sungai. Saat itu saya bisa memperoleh Rp. 800,000,- perkubik bahkan kalau satu kubik ramin bisa dapat Rp. 125.000,-. “, ceritanya mengingat masa-masa itu. Namun pekerjaan tersebut tidak menetap, jika sedang tidak mengambil kayu, Supri juga menanam sayur-sayuran di rumahnya.
Setelah masa illegal logging dilarang keras sampai tahun 2005, Supri bergabung dengan WWF untuk bekerja menabat. “Waktu itu saya ga tau tentang WWF, tiba-tiba ada teman yang mengajak untuk menabat kanal di km 10 SSI (Sebangau Sinatra Indah) guna ikut memasang pipa, saat itu 20 hari saya bekerja di dalam hutan”.
Pria berusia 34 tahun ini mengaku banyak belajar hal baru sejak bergabung di WWF, “Disini saya belajar melakukan pemadaman api, mengukur air, monitoring hidrologi, pembibitan, survey orang utan dan sebagainya. Jika ditanyakan penghasilan sesungguhnya lebih besar saya dapatkan saat jaman kayu dahulu, tetapi bagaimanapun saya sudah merasa nyaman di WWF, selain pekerjaannya lebih tetap, legal serta banyak menambah wawasan”, sahutnya.
Pria yang sudah memiliki 2 anak ini adalah orang lapangan yang bertanggung jawab terhadap camp dan menetap di camp riset SSI . Dalam sebulan dia mendapat jatah off selama 6 hari. Dari pekerjaan ini Supri memperoleh banyak pengalaman menarik selama di lapangan seperti bertemu dengan beruang madu, macan dahan, orang utan, berang-berang, biawak, dan buaya. “Dulu saya tidak menyadari bahwa apa yang kami lakukan dengan menebang kayu dapat beresiko kebakaran. Sejak bergabung dengan WWF, saya jadi tau bahwa menebang kayu berdampak erosi dan kebakaran, ternyata gambut sangat mudah terbakar di kondisi kering”, katanya menyadari.