PERSIDANGAN KASUS PEMBUNUHAN TIGA EKOR HARIMAU SUMATERA DI RIAU
Untuk disiarkan segera 5 Agustus 2009
BBKSDA Riau dan Pegiat Lingkungan Mengapresiasi Penegakan Hukum dalam Kasus Kejahatan Terhadap Satwa Liar dan Mendorong Hukuman Maksimum Bagi Para Pelakunya
Pekanbaru (05/08) –Persidangan kasus pembunuhan tiga ekor harimau Sumatera di Pengadilan Negeri Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir-Riau akan memasuki persidangan yang keenam pada Senin pekan depan (Senin 10/8). Persidangan ini merupakan tindak lanjut dari insiden pembunuhan harimau Sumatera --yang terjadi di blok hutan Kerumutan, Kecamatan Pelangiran, Kabupaten Indragiri Hilir, Februari 2009 silam. Dalam persidangan ketiga, proses penegakan hukum dalam upaya memerangi kejahatan terhadap satwaliar ini mulai menunjukkan titik terang dengan ditolaknya nota keberatan penasehat hukum terdakwa oleh Majelis Hakim.
Persidangan pertama kasus ini dimulai pada 16 Juli 2009 dan dalam proses persidangan pembacaan putusan sela pada 27 Juli 2009 Majelis Hakim menolak nota keberatan Jaksa Pembela.
“Keputusan majelis hakim untuk meneruskan persidangan kasus ini patut diacungi jempol. Jika majelis hakim berhasil menggiring pelaku ke jeruji besi dengan putusan hukuman maksimal, maka ini akan menambah deretan prestasi aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum terkait satwa liar, sekaligus menghilangkan keraguan atas lemahnya penegakan hukum terhadap kejahatan dibidang satwaliar selama ini ”, kata Hariyo T. Wibisono dari Forum HarimauKita. Dia berharap agar kasus ini dapat diselesaikan hingga tuntas dan menjadi contoh positif bagi penegakan hukum terhadap pelaku pembunuhan satwaliar di Indonesia.
Trisnu Danisworo Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau menambahkan: “Kami sangat menghargai keseriusan dan konsistensi aparat penegak hukum dalam memerangi kejahatan terhadap satwaliar yang terancam punah ini, sehingga mereka dapat terhindar dari kepunahan “. Sejalan dengan hal itu, dia berharap agar pelaku yang terbukti melakukan pembunuhan harimau dapat dikenai hukuman yang maksimal guna memberikan efek jera bagi pelaku lainnya.
Jika terbukti bersalah, menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pelaku pembunuhan satwa dilindungi tersebut dapat dikenakan hukuman penjara maksimal lima tahun dan denda hingga 100 juta rupiah.
Kasus pembunuhan tiga ekor harimau sumatera tersebut Februari lalu, mendapat perhatian yang serius dari para pegiat lingkungan dan konservasi alam karena mengancam eksistensi harimau Sumatera yang jumlahnya terus menyusut di alam. Menteri Kehutanan M.S. Kaban pun dalam pernyataannya di beberapa media lokal dan nasional meminta agar pelaku pembunuhan satwa dilindungi tersebutdapat dikenai hukuman yang serius agar menimbulkan efek jera.
“Selain memberikan dukungan kepada aparat penegak hukum - dalam hal ini kepolisian, kejaksaan dan majelis hakim- atas diprosesnya kasus ini, WWF Indonesia juga memberikan apresiasi yang tinggi atas kegigihan penyidik dari BBKSDA Riau yang pantang menyerah mengawal kasus ini hingga ke pengadilan,” kata Ian Kosasih, Direktur program Kehutanan WWF-Indonesia.
Dengan diprosesnya kasus ini ke pengadilan, BBKSDA Riau sebagai Penyidik Sipil Pegawai Negeri Sipil(PPNS) membuat catatan positif karena untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir di provinsi Riau, PPNS mampu memproses hukum kasus kejahatan terhadap satwaliar hingga ke pengadilan .
“Kami berharap penegakan hukum terhadap kasus harimau ini juga dapat memberikan semangat dan motivasi kepada jajaran penegak hukum lainnya untuk memproses kasus pembunuhan tujuh ekor gajah Sumatera yang juga mencuat di Riau tahun ini, kata Herri Tarmizi, Koordinator Bidang Advokasi Kelompok Studi Lingkungan Hidup (KSLH) Riau. Herri menambahkan” Kami mencatat bahwa dalam 10 tahun terakhir di Riau hanya ada empat kasus perburuan dan perdagangan harimau dan gajah yang dipersidangkan sementara itu jumlah kematian satwa dilindungi tersebut di Riau sangat memprihatinkan”. Antara bulan Mei dan Juni 2009 tujuh ekor gajah Sumatera mati dibunuh di Riau, beberapa diantaranya ditemukan mati tanpa gading.
Selain mendorong penegakan hukum terhadap pelaku pembunuhan satwa liar, para pegiat lingkungan juga menyerukan agar pembukaan hutan alam yang menjadi penyebab utama terjadinya konflik antara manusia dan satwa liar dapat dihentikan. “Pembukaan hutan alam juga harus dihentikan, bukan hanya untuk penyelamatan harimau dan gajah Sumatera serta satwa dilindungi lainnya, tetapi juga untuk keselamatan publik,” kata Pam E. Minnigh, dari Pusat Informasi Lingkungan Indonesia.
“Untuk melindungi harimau Sumatera dan satwa dilindungi lainnya di Sumatera, termasuk guna menghindari terus terjadinya konflik manusia dan satwa yang menimbulkan kerugian bagi kedua belah pihak, maka komitmen seluruh gubernur se-Sumatera dan pemerintah pusat untuk mengembangkan tata ruang berbasiskan ekosistem perlu didukung oleh semua pihak, “ kata Chairul saleh, Sekjen Forum Tata Ruang Sumatera. Diimplementasikannya tata ruang berbasiskan ekosistem di Sumatera diharapkan dapat menjadi salah satu upaya untuk memastikan terlindunginya habitat harimau Sumatera dan satwa dilindungi lain, di dalam maupun diluar kawasan lindung, dalam konteks pembangunan berkelanjutan.
####
Untuk informasi selanjutnya, silakan hubungi:
- Trisnu Danishworo, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Telp. 0761-63135 E-mail: bksda-riau@yahoo.co.id
- Syamsidar, Communications Manager, WWF-Indonesia’s Riau Program Ph +62 8126896095 Email: syamsidar@wwf.or.id
- Herri Tarmizi, Koordinator Bidang Advokasi Kelompok Studi Lingkungan Hidup (KSLH) Riau, Hp: 08136500096, Email:KSLH_Riau@yahoo.co.id
- Pam E. Minnigh, PILI, mobile ph +62 811381287, Email minnigh@pili.or.id
- Hariyo T. Wibisono, Forum HarimauKita, ph +628121099557, email: h.wibisono@wcsip.org
- Chairul Saleh, Sekjen ForTRUST (Forum Tata Ruang Pulau Sumatera) PH +62 811102902
Catatan Untuk Editor:
- Dari total empat ekor harimau Sumatera yang mati dibunuh tahun ini, semuanya terjadi di blok hutan Kerumutan yang bersinggungan dengan beberapa konsesi hutan tanaman kayu pulp dan kebun sawit yang sedang melakukan aktivitas penebangan. Menurut para pakar harimau dunia, Lanskap hutan Kerumutan di Riau memiliki manfaat regional karena hutannya yang bersambungan danluasnya memadai bagi pergerakan harimau(Sanderson, et.al, 2006).
- Lanskap hutan Kerumutan di Riau merupakan salah satu lanskap yang ditetapkan sebagai “Prioritas Regional Konservasi Harimau” di pulau Sumatera oleh para ahli konservasi harimau. Jumlah populasi Harimau Sumatera diperkirakan hanya tersisa sekitar 400 individu di alam bebas di seluruh Sumatera, dan dikategorikan sebagai Critically Endangered oleh lembaga konservasi dunia IUCN
- Setidaknya 56 orang dan 15 ekor harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) terbunuh di Riau sejak 1997 hingga 2009 akibat konflik harimau dan manusia. Sedangkan, 17 harimau telah ditangkap dan dikeluarkan dari hutan habitat aslinya dalam periode waktu yang sama (data kompilasi Yayasan PKHS, Universitas Riau dan WWF-Indonesia)
- Untuk memberikan dukungan terhadap penuntasan kasus pembunuhan harimau Sumatera, Kelompok Studi Lingkungan Hidup (KSLH) Riau mengumpulkan petisi tandatangan dari publik luas. Kirimkan dukungan Anda ke KSLH_RIAU@yahoo.co.id dengan cara ketik: DUKUNG PETISI spasi Nama spasi Komentar (optional).
####