PERJALANAN DI HEART OF BORNEO
Pada 10 Januari 2014 merupakan tahun ketiga saya bergabung bersama keluarga Panda.
Sebelum saya bergabung dengan WWF-Malaysia, saya bekerja sebagai staf marketing dan komunikasi di hotel internasional bintang 5. Tidak pernah terlintas dalam pikiran saya bahwa suatu hari, saya akan bekerja dengan sekelompok orang yang mencintai alam serta berdedikasi untuk melindunginya sambil berjalan kaki selama berjam-jam di sebuah hutan yang masih alami di Borneo. Saya bahkan belum pernah mendengar istilah 'Hutan Perawan' !
Tumbuh menjadi seorang gadis kota, keluarga dan teman dekat saya yakin bahwa saya tidak akan bertahan di pekerjaan ini dan ternyata saya dapat membuktikan bahwa mereka salah. Saya sama sekali tidak memiliki latar belakang konservasi, dan itu menjadi tantangan utama karena tentu saja saya harus mengejar ketinggalan dengan istilah-istilah teknis serta memahami proyek konservasi dalam organisasi.
Peran saya di Sarawak adalah untuk mendukung strategi program dengan menerapkan sistem komunikasi yang cocok untuk membangun kemitraan serta menciptakan konsensus di antara pemangku kepentingan yang berbeda. Komunikasi menjadi hal yang penting dalam mendukung program konservasi pada pelaksanaan kegiatan proyek di lapangan sambil mempromosikan pesan-pesan kunci.
MENDUKUNG PROGRAM KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN PENDIDIKAN (KMP)
Selama bertahun-tahun, salah satu program yang menurut saya paling menarik dan penuh tantangan adalah program KMP yang mana WWF-Malaysia bekerja sama dengan WWF-Indonesia dan Forum Masyarakat Adat Dataran Tinggi Borneo (FORMADAT) untuk meningkatkan kesadaran, mengembangkan kemampuan dan keterampilan dalam membangun kemitraan dengan instansi pemerintah serta bekerja sama untuk lebih mengembangkan sektor ekowisata dan pertanian yang berkelanjutan tanpa mengorbankan lingkungan dan sumber daya alamnya.
FORMADAT merupakan inisiatif lintas-batas yang bertujuan untuk meningkatkan dan memahami kehidupan masyarakat di dataran tinggi. Sebuah inisiatif akar rumput untuk menjaga tradisi budaya, membangun kapasitas lokal, serta mendorong pembangunan berkelanjutan di kawasan Heart of Borneo tanpa risiko degradasi sosial dan lingkungan itu sendiri. Visi dan misi FORMADAT selaras dengan visi konservasi WWF di dataran tinggi Sarawak.
Pada bulan ketiga saya di WWF-Malaysia, saya ditugaskan untuk terjun langsung ke lapangan agar terbiasa dengan program yang menjadi tanggung jawab saya serta mendatangi pertemuan tahunan FORMADAT. Itu adalah peristiwa yang membuka mata dan mengubah persepsi hidup saya. Saya jadi lebih menghargai siapa saya, kehidupan yang saya miliki untuk mecintai alam bahkan lebih dari itu!
PERJALANAN SAYA
Perjalanan saya ke Heart of Borneo dimulai dengan satu jam penerbangan dari Kuching ke Miri dan penerbangan perintis dari Miri ke Lawas. Pengalaman check in saya yang pertama naik pesawat perintis menjadi pengalaman yang menarik karena kami harus menimbang segala sesuatu termasuk tas tangan dan juga diri kami sendiri. Hal itu harus dilakukan karena sebuah pesawat yang menggunakan baling-baling sama sekali tidak boleh ada kelebihan beban, staf maskapai wajib memastikan bahwa penumpang dan semua barang yang dibawa tidak terlalu berat sehingga pesawat bisa lepas landas dengan aman.
Ketika kami mencapai Lawas, kami makan malam dengan anggota FORMADAT yang datang dari Bario, Ba'Kelalan serta Long Semadoh (Sarawak), dan Ulu Padas (Sabah), atau lebih dikenal oleh banyak orang sebagai dataran tinggi Kelabit dan Maligan. Suasana saat makan malam sangat menyenangkan karena anggota FORMADAT merupakan orang-orang yang sangat ramah dan hangat.
Pukul 03:30, ketika kebanyakan orang masih tertidur nyenyak, kelompok kami berangkat menuju Ba' Kelalan untuk menempuh 12 jam perjalanan. Pada hari itu tak ada penerbangan yang dijadwalkan terbang dari Lawas ke Ba'Kelalan.
Saya diberitahu bahwa kondisi jalan sangat buruk, bisa saja kami terjebak dan para pengemudi akan saling membantu untuk menarik kendaraan keluar dari kubangan lumpur. Beberapa orang bahkan harus menginap semalam saat mereka melakukan perjalanan sendirian; menunggu kendaraan lain lewat untuk membantu mereka menarik mobilnya dari dalam lumpur. Sangat menantang bagi saya namun ini merupakan cara hidup yang sangat sulit bagi penduduk setempat jika mereka berada dalam keadaan darurat.
Kami bepergian menggunakan kendaraan 4 roda yang telah dimodifikasi (4WD) dan memiliki roda yang sangat besar. Para pengemudi mengenakan topi koboi dan memainkan musik country selama perjalanan. Ini adalah tren di antara pengemudi lokal dan saya rasa perjalanan saat itu memang menyerupai kegiatan menunggang kuda. Saya menyebutnya 'Koboi dari Lawas'. Benar saja, perjalanan begitu terjal dan kasar, jalanan yang penuh dengan lumpur berwarna kuning mengingatkan saya pada teh-si -peng (teh favorit saya yang dicampur dengan susu kental manis). Saya harus melupakan rencana saya untuk tidur di dalam mobil karena jalanan begitu bergelombang membuat kami semua harus berpegangan.
Setelah 12 jam berjuang dalam lautan lumpur dengan 5 kali berhenti untuk membantu menarik 4 WD lainnya yang terjebak di lumpur, kami akhirnya tiba di Ba'Kelalan, sebuah desa yang indah di Lun Bawang yang dikelilingi oleh hutan yang masih alami. Disana memang bukan tempat untuk pertemuan kami, namun desa Ba’Kelalan merupakan salah satu lokasi konservasi WWF Malaysia.
Sesampainya disana kami beristirahat selama setengah jam, lalu kami berjalan kaki selama 2 jam untuk melintasi perbatasan Indonesia ke Long Midang dimana mobil 4WD yang lain akan mengantar kami ke tempat pertemuan, yaitu di Long Bawan. Seumur hidup saya belum pernah berjalan kaki lebih dari 30 menit, namun pada akhirnya saya meyakinkan diri bahwa jika ingin menjadi bagian dari keluarga Panda, saya tentu saja harus berubah dan hal ini bisa menjadi latihan yang baik. Dengan ransel 7kg di punggung yang baru dibeli hanya untuk perjalanan itu, saya berjalan bersama-sama dengan 11 anggota FORMADAT dan 2 rekan dari WWF-Malaysia.
Saat itu jalanan juga penuh lumpur. Saya memakai sepasang sepatu baru 'Adidas Kampung'. Sepasang sepatu murah dengan karet hitam dan kancing yang juga terbuat karet yang biasa digunakan oleh sebagian besar penduduk setempat untuk berjalan di hutan. Beberapa orang berkata itu merupakan sepatu hiking terbaik di dunia yang digunakan oleh pemenang kompetisi mendaki Gunung Kinabalu tahun lalu. Namun tidak demikian dengan sepatu saya yang pada saat itu seringkali terjebak di dalam lumpur dan dengan penuh perjuangan saya harus mengangkat kaki agar terbebas dari lumpur. Ketika akhirnya dapat membebaskan diri dengan bantuan dari rekan-rekan lain, kaki saya muncul tanpa sepatu karena ternyata sepatu saya masih tertinggal di dalam lumpur!
Semuanya begitu baru bagi saya, saya tidak bisa berhenti menertawakan diri sendiri dan seluruh situasi yang saya alami. Saya sangat menikmati perjalanan tersebut meskipun tubuh saya sakit (sebelumnya saya pernah terjatuh dari kuda) dan kedua kaki saya hampir menyerah.
Itu hanya sebagian dari kegembiraan yang saya rasakan sampai kami tiba di Long Midang pada pukul 7 malam. Karena desa tersebut terletak pada ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut, udara menjadi semakin dingin dan sinyal telepon yang ditangkap sangat buruk sehingga kami harus mencari sinyal di pos tentara Indonesia sedangkan sisanya duduk di tengah jalan sepi. Kami menemukan bahwa kendaraan yang akan membawa kami telah pergi setelah menunggu selama berjam-jam dan akan datang kembali esok hari.
Setelah anggota FORMADAT berbicara dengan penduduk setempat di Long Midang, kami diundang untuk tinggal di rumah penduduk dan tuan rumah bersedia memasak untuk kami. Rumah yang kami singgahi adalah rumah tempat semua tentara di pos militer Indonesia tinggal dengan keluarga mereka. Melalui pengalaman ini, saya belajar bahwa rencana dapat berubah sepanjang waktu terutama di daerah pedesaan yang minim sinyal telepon dan saya baru sadar bahwa ternyata penduduk Lun Bawang dan Kelabit adalah orang-orang yang sangat hangat dan ramah. Mereka menyambut orang lain untuk menginap di rumah mereka dengan hati terbuka.
Keesokan harinya, sebelum sarapan kami disuguhi biskuit dan kopi. Saya terkejut, sarapan sebenarnya adalah nasi dan masakan yang berbeda dari sayuran dan daging. Penduduk setempat menjelaskan bahwa pada dasarnya mereka adalah petani dan mereka membutuhkan makanan yang mengenyangkan agar mereka mendapatkan energi yang dibutuhkan untuk bekerja di sawah. Sampai sekarang, sebagian besar penduduk di kawasan Heart of Borneo masih berprofesi sebagai petani padi.
Setelah sarapan, 4WD yang ditunggu akhirnya muncul dan mengantar kami ke tempat pertemuan. Perjalanan kami tidak berakhir di sana namun itu merupakan sebuah pengalaman pertama yang paling menantang bagi saya. Kabar baiknya adalah saat ini jalan dari Lawas ke Ba'Kelalan telah diperbaiki dan hanya membutuhkan waktu 4 jam tanpa takut terjebak di jalan berlumpur lagi. Penduduk Ba'Kelalan dapat melakukan perjalanan yang lebih nyaman dan cepat ke Lawas untuk kepentingan sehari-hari, sekolah serta kesehatan.
Saya senang bahwa perjalanan pertama saya ke lapangan sejauh ini merupakan yang paling sulit yang pernah saya alami sejak bergabung di WWF-Malaysia dan saya tidak menyerah menjadi bagian dari keluarga ini namun sebaliknya, itu membuat saya menjadi orang yang lebih baik. Dan saya tidak banyak mengeluh tentang hidup seperti yang saya lakukan sebelumnya!
Alicia Ng
Staf Senior Komunikasi, Program Sarawak, WWF-Malaysia