PENGALAMAN DEWI BERSAMA ORANGUTAN KALIMANTAN
“Ini impian saya untuk bisa bekerja dalam isu konservasi. Saya bergabung dan menjadi staff WWF setelah 2 tahun menjadi sukarelawan WWF di Kalimantan Barat, khususnya di bidang konservasi survei Orangutan dan keanekaragaman hayati,” ujar Dewi.
Perempuan asal Pontianak ini pertama kali mengenal dan ‘jatuh cinta’ dengan WWF pada tahun 2008 dari seorang dosennya ketika ia menempuh pendidikan S1-nya di Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat. Kecintaannya itu berlanjut hingga saat ini Dewi di tahun ke-9 nya bersama WWF, Dewi mengambil posisi sebagai spesialis spesies di Kawasan Muller Schwaner Arabela.
Kawasan Mueller – Schwaner – Arabela adalah kawasan seluas 4,3 juta ha yang berada di Kalimantan Barat dan Tengah, yang menjadi salah satu kawasan prioritas WWF-Indonesia. Kawasan ini menjadi rumah bagi 7.500 individu Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus), atau sekitar 10 % - 20% populasi yang tersisa di Borneo. Tak hanya itu, kawasan ini juga menyimpan spesies lain seperti Rangkong Gading (Rhinoplax vigil), Beruang Madu (Helarctos malayansus), Owa Kelempiau (Hylobates muelleri), ratusan spesies burung, reptil, dan masih banyak lagi.
Dalam profesinya saat ini, Dewi memiliki tanggung jawab yang besar terkait upaya konservasi Orangutan di hutan Kalimantan. Secara berkala, Dewi akan melakukan dokumentasi kegiatan konservasi, dan memberikan konten edukatif dan informatif tentang perlindungan satwa kepada pihak terkait.
“Saya juga harus memastikan pelaksanaan survei dan pemantauan Orangutan berjalan sesuai rencana kerja. Saya juga melakukan pengumpulan informasi akurat di lapangan sebagai referensi untuk evaluasi pencapaian target pada program konservasi Orangutan,” jelas perempuan yang kini sedang menempuh studi magisternya di Ilmu Lingkungan di Universitas Tanjungpura.
Saat ini situasi Orangutan di Indonesia sendiri mengalami kenaikan, meskipun tidak secara signifikan. Hal ini dapat dilihat dari kesadaran masyarakat yang lebih baik dalam 2 tahun belakangan ini. Terbukti, adanya pelaporan yang dilakukan masyarakat terkait pemeliharaan Orangutan kepada BKSDA Kalimantan Barat, namun yang masih perlu menjadi perhatian adalah ketika habitat Orangutan beralih fungsi menjadi areal konsesi.
“Tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana mengajak para pemegang izin konsesi (izin pembukaan lahan untuk pembukaan tambang dan penebangan hutan) untuk lebih peduli terhadap konservasi Orangutan dan habitatnya. Karena di situlah akan timbul konflik antara Orangutan dengan manusia,” jelas Dewi Puspita Sari.
Dewi tengah berjuang untuk mempertahankan habitat Orangutan di hutan Kalimantan. Perlu diketahui bahwa sebagian besar populasi orangutan berada di luar konservasi, khususnya kawasan hutan di sekitar kota Pontianak yang menjadi kantong-kantong habitat Orangutan. Oleh karena itu, diperlukan peran serta dari para pemegang izin konsesi agar bersama-sama menjaga habitat Orangutan.
Tidak hanya itu, Dewi juga berusaha mengajak seluruh masyarakat untuk bisa berpartisipasi aktif dalam perlindungan Orangutan di habitat asli, sebagai bagian dari upaya konservasi yang ia jalankan. Seluruh masyarakat dalam hal ini juga melibatkan kerjasama dari multipihak mulai dari masyarakat sendiri, pemerintah, private sector dan juga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Meningkatnya kepedulian masyarakat akan Orangutan menjadi pencapaian penting bagi Dewi sendiri. Walaupun kepedulian belum secara menyeluruh di kalangan masyarakat, Dewi berharap pihak yang terkait seperti BKSDA, GAKKUM dan Kepolisian dalam menindak tegas kasus perdagangan Orangutan.
“Yang paling membuat saya terpesona adalah ketika saya bisa melihat Orangutan di habitat alami mereka. Dengan mengetahui bahwa masyarakat sekitar peduli untuk melindungi dan mengamankan habitat dan populasi Orangutan, itu sungguh luar biasa. Lebih dari kata-kata yang bisa saya ucapkan!” jelas Dewi.
Dewi mengungkapkan perasaannya itu karena baginya tidak semua orang memiliki kesempatan untuk bisa ke hutan alam, apalagi melihat Orangutan liar. Pengalamannya beberapa kali melihat Orangutan ketika pemantauan benar-benar menjadi pengalaman berharga dalam perjalanan karirnya.
“Itu seperti momen keberuntungan,” jelas Dewi mengutarakan betapa bahagianya ia ketika mendapat kesempatan melihat Orangutan di beberapa wilayah, seperti: Bukit Peninjau, Desa Meliau, Desa Melemba, Kabupaten Kapuas Hulu.
Peristiwa emosional lain yang dialami Dewi ialah ketika hakim menetapkan hukuman bagi pelaku jual beli Orangutan secara online. Dewi mengaku senang karena hukum dapat ditegakkan, walaupun belum maksimal seperti yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
“Setidaknya itu sudah memberikan efek jera kepada pelaku-pelaku kejahatan satwa liar. Ini sebagai contoh konkrit hukuman yang harus diterima pelaku yang mengalami penyesalan akibat perbuatannya sendiri. Mungkin mereka tidak menyangka harus berakhir dibalik jeruji besi karena perdagangan Orangutan. Namun itulah harga yang harus mereka bayar karena melanggar peraturan,” tukas Dewi.
Saat ini harapan besar Dewi ialah tidak ada lagi Orangutan yang keluar dari habitatnya, adanya kesadaran masyarakat dan private sector mau menyediakan area konservasi bagi Orangutan. Selain itu diharapkan akan dibangun koridor-koridor khusus bagi Orangutan dan adanya kerjasama yang terjalin antara pemerintah, masyarakat, swasta dan LSM dalam upaya perlindungan kelestarian Orangutan.
“Tanpa Orangutan, ekosistem akan menjadi tidak seimbang. Bahayanya sangat nyata. Alih fungsi lahan telah merampas hampir 60% habitat hidup Orangutan. Oleh karena itu diperlukan kesadaran oleh pemerintah dan masyarakat untuk bersama-sama menjaga. Orangutan membawa nilai bagi kehidupan manusia,” tutup Dewi.