PEMBUDIDAYA HARUS BERSAHABAT DENGAN ALAM
Pernah mencoba berjalan di sepanjang wilayah pesisir pantai? Tak jarang ditemukan beribu hektar tambak mengalirkan limbahnya ke laut. Praktik akuakultur atau budi daya tidak bisa lepas dari limbah. Dari setiap kegiatan budi daya, limbah yang dihasilkan seringkali menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan dan luput dari perhatian petambak. Banyak pembudidaya skala kecil belum menyadari hal tersebut.
Jika tidak ada langkah pengelolaan limbah, siapa yang akan merugi? Tentu para pengusaha budi daya itu sendiri karena usaha yang dilakukan bergantung pada kondisi alam sekitarnya. Ketika kita tidak bersahabat dengan alam maka alam akan menjadi malapetaka. Merebaknya virus white spot (penyakit bintik putih pada udang) di Indonesia maupun wabah sebelumnya, penyakit kunang-kunang yang disebabkan oleh Vibrio harveyii, menjadi contoh penyakit yang salah satunya diakibatkan oleh penumpukan bahan organik di alam.
Bahan organik yang berlebihan dan tidak teroksidasi dengan baik, menjadi nutrisi bagi organisme penyebab penyakit, dan akhirnya air dengan populasi bakteri patogen yang tinggi dialirkan kembali ke tambak sebagai sumber media tumbuh ikan. Pembudidaya seperti mengalirkan sumber penyakit juga ke dalam tambaknya yang kemudian mengakibatkan terjadinya gagal panen.
Pengusaha diingatkan mengenai keberlanjutan usaha. Itu menjadi kata pamungkas untuk pengusaha budi daya agar fokus juga dalam pengelolaan limbah. Karena sesungguhnya, inti dari budi daya adalah rekayasa, bagaimana mengontrol alam beserta input budi daya lainnya untuk dapat memberikan suasana yang kondusif untuk ikan yang dipelihara serta menjaga kualitas ekosistem di sekitarnya. Lalu bagaimana mengelola limbah yang dihasilkan agar tidak mencemari lingkungan sekitar?
Pengelolaan Limbah dengan IPAL
Pembudidaya skala industri pada umumnya memiliki pengetahuan yang lebih luas. Selain karena resiko usaha yang mereka hadapi besar, mereka juga secara sadar ingin mempertahankan keberlangsungan usaha mereka. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) biasanya menjadi salah satu perhatian utama dalam perencanaan praktik budi daya.
IPAL memiliki beragam langkah-langkah penerapan. Salah satunya adalah penerapan treatment aerasi, pengendapan, dan pengurangan bahan organik dan anorganik pada sistem IPAL. Pada sistem ini, tumbuhan pun mempunyai peran yang penting sebagai penurun kadar limbah. Eceng gondok digunakan sebagai penyerap nutrien anorganik seperti nitrogen dan fosfor serta memerangkap partikel organik dengan sistem perakarannya.
Ikan Nila juga ditebarkan pada kolam berikutnya setelah kolam area perlakuan eceng gondok. Nila berfungsi memanfaatkan plankton yang ada, serta kesesuaian kualitas air untuk kehidupan ikan. PT. Suri Tani Pemuka (STP) merupakan perusahaan yang menerapkan sistem IPAL ini di farm tambak sobo, Banyuwangi.
Lain lagi, sistem IPAL Bacterial Mineral Water (BMW) mengandalkan bakteri untuk bekerja menurunkan kadar bahan organik. Air limbah masuk ke dalam kolam pengendapan yang kemudian dialirkan ke kolam yang berisi sup bakteri dengan aerasi tinggi. Air yang sudah ditreatment dengan bakteri kemudian dipisahkan dari partikel padatnya. Setelah itu secara bertahap air disaring dengan menggunakan filter fisika berupa bebatuan, sampai air tersebut menjadi jernih dan tidak berbau. Sistem IPAL tersebut diterapkan oleh PT. Alter Trade Indonesia (ATINA).
Adanya pengelolaan air limbah, maka beban cemaran terhadap lingkungan sekitar terutama laut akan berkurang. Selain itu, keberlanjutan usaha budi daya yang bergantung pada sumber air laut pun akan terjaga. Dari laut kembali kembali ke laut, meminjam air untuk keuntungan ekonomi dan mengembalikannya ke laut dengan cemaran yang rendah, sehingga sumber daya air dapat dinikmati hingga anak cucu kelak.
Penulis : Nur Ahyani (Aquaculture Offiecer) dan Wahju Subachri (Senior Aquaculture WWF-Indonesia)