OVEN MATAHARI YANG RAMAH LINGKUNGAN
Oleh Nawa Tunggal
Oven matahari menjadi alat memasak dengan sumber energi sinar matahari. Inovasi teknologi karya Prof Dr Herliyani Suharta, Ir MPhil (57) dari Balai Besar Teknologi Energi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi ini memperoleh hak paten setelah menunggu 10 tahun sejak didaftarkan pada tahun 1998 lalu.
Menunggu paten selama 10 tahun sempat membuat putus asa juga,” kata Herliyani, Rabu (28/10) di ruang kerjanya di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Serpong, Tangerang, Banten.
Oven matahari itu diberi nama tipe HS 5521. Istilah ”HS” dicomot dari singkatan nama Herliyani Suharta. Nomor ”5521” untuk ukuran oven dengan sisi bujur sangkar 55 sentimeter dan tinggi 21 sentimeter.
Herliyani juga mendaftarkan paten untuk oven matahari tipe HS 5921 dan tipe HS 6021.
”Ukurannya sudah disesuaikan dengan loyang yang banyak ditemui di pasar,” ujar Herliyani.
Oven matahari ini hanya dapat digunakan pada siang hari, pukul 09.00 sampai 16.00. Dengan bantuan dana riset dan pengembangan dari Earthwatch Institute, Massachusetts, Amerika Serikat, antara tahun 1995 dan 1999, oven matahari ini sudah teruji kinerjanya.
Herliyani memanfaatkan oven matahari untuk berinteraksi memberdayakan masyarakat miskin dengan daya dukung lingkungan sekitar yang makin menyusut, terutama terbatasnya kayu bakar.
Suhu maksimum
Oven matahari terbuat dari komponen utama kayu lapis, cermin, kaca, dan lembar aluminium. Prinsip kerjanya adalah dengan teori efek rumah kaca yang diperangkap dan disinari matahari terus-menerus untuk peningkatan suhu di ruang oven.
Dalam suatu eksperimen, suhu maksimum diperoleh 202 derajat celsius. Menurut Herliyani, mungkin saja bisa lebih.
”Suhu maksimum 202 derajat celsius diperoleh dengan termometer buatan Indonesia yang mempunyai batas maksimum 202 derajat celsius,” kata Herliyani.
Sejak 1995 tercatat sebanyak 35 lokasi pelatihan oven matahari, di antaranya di Lombok, Mataram, Sumbawa, Kupang, Dompu, Bima, Donggala, Bojonegoro, Trenggalek, Yogyakarta, Subang, Bengkulu, Ogan Komering Ilir, Palangkaraya, dan Banjarmasin.
Oven matahari ini bisa digunakan untuk beragam keperluan. Untuk menanak nasi dengan 1,5 kilogram beras, misalnya, jika menggunakan oven matahari, hanya membutuhkan waktu dua jam hingga nasi matang dengan hasil enak dan normal. Memasak 17 butir telur membutuhkan waktu satu jam.
Dalam beberapa kali uji coba, untuk membuat bolu kukus dengan adonan sekitar 0,65 kilogram, bolu akan matang dalam waktu 58 menit. Sate ayam 0,5 kilogram bisa masak dalam waktu 1 jam 16 menit meski hasilnya sedikit basah.
Mengurangi kayu
Bagi Herliyani, merancang oven matahari sebagai bagian kepedulian sikap dan keberpihakan terhadap masyarakat kurang mampu. Masyarakat ini kerap mengandalkan kayu sebagai bahan bakar satu-satunya yang diperoleh dari lingkungan sekitar secara cuma-cuma.
”Oven matahari dirancang menggantikan kayu bakar yang jumlahnya terus menyusut. Penggunaan oven matahari ini untuk mengurangi penebangan kayu yang sering dilakukan masyarakat,” ujar Herliyani.
Herliyani menjumput data tahun 1993, ketika akan mulai melakukan pembuatan oven matahari. Statistik penduduk Indonesia saat itu menyebutkan, ada sekitar 27,9 juta keluarga di Indonesia yang menggunakan kayu bakar atau arang kayu untuk memasak.
Asumsi per keluarga setiap hari menggunakan 2 kilogram kayu bakar, dibutuhkan 20,37 miliar kilogram kayu per tahun. Jika kayu diperoleh di lokasi yang subur, tentu ada harapan sumber energi itu bisa berkesinambungan. Tetapi, tidak semua masyarakat yang menggunakan bahan bakar kayu itu berada di lokasi yang subur.
Di daerah terpencil dan tidak subur, masyarakat sering dihadapkan ketiadaan pilihan untuk memanfaatkan kayu sebagai sumber energi. Oven matahari menjadi penting peranannya, manakala kayu makin sulit didapat.
Bagi masyarakat mapan, oven matahari penting juga. Selaras dengan prinsip ”go green”, oven matahari mampu menjadi pilihan gaya hidup. Investor yang peduli lingkungan harus mencium peluang usaha untuk memproduksi massal alat yang ramah lingkungan ini.