MODAL ALAM DAN MODAL SOSIAL UNTUK PENGHIDUPAN YANG BERKELANJUTAN DI HEART OF BORNEO
Oleh Cristina Eghenter
Mungkin tidak terlalu jelas jika arang atau jenis produk yang ‘hitam’ ternyata dapat menuntun ke jalur ekonomi pedesaan yang lebih hijau. Akan tetapi, pengalaman LSM Dian Tama dan masyarakat di Kalimantan Barat menyajikan cerita sebuah cerita yang berbeda, dimana vegetasi hijau dapat menjadi hitam untuk sebuah hasil yang lebih hijau!
Selama bertahun-tahun praktisi dan petani lokal bekerja sama dengan ahli dari Jepang mengenai cara memproduksi arang berkualitas dari membakar kayu yang ditanam setempat dan pengayaan plot, dan menjualnya ke pasar sebagai briket untuk digunakan di kompor masak yang hemat energi, pertanian organik, dan peternakan yang berkelanjutan.
'Tangkapan dan cadangan karbon rendah’ merupakan sebuah teknologi pertanian yang sederhana, efisien dan ramah lingkungan. Harganya murah dan dapat dengan mudah diaplilkasikan pada konteks negara berkembang. Teknologi ini memanfaatkan sirkulasi alamiah dari karbon yang ada di bumi dan produksi karbon non-organik melalui karbonisasi biomasa yang tidak meningkatkan kadar CO2.
Kolaborasi yang berumur dekade dan transfer teknologi dari pakar Jepang kepada praktisi lokal ini telah menempatkan dasar bagi pertanian yang lebih berkelanjutan (termasuk padi dan sayuran). Kompos arang diproduksi dan disebar di ladang dan plot untuk meningkatkan produktivitas tanah, dicampur ke dalam pakan ternak untuk meningkatkan ketahanan terhadap penyakit dan juga menjadi lapisan pada kandang hewan sehingga dapat mengurangi bau dan berkontribusi terhadap lingkungan yang bersih .
Ini hanya salah satu contoh dari teknologi lingkungan tepat guna dengan potensi terapan yang cukup besar di pedesaan dan masyarakat di kawasan Heart of Borneo. Selain itu, pengalaman-pengalaman serupa terkait bagaimana mengembangkan keberlanjutan dan dan memanfaatkan sumber daya alam yang kaya di kawasan Heart of Borneo untuk meningkatkan mata pencaharian lokal dibagikan dan dibahas pada pertemuan di Pontianak (Kalimantan Barat) pada Desember 2012. Acara ini merupakan bagian dari rangkaian debat publik yang telah berlangsung sejak 2010 dan seminar mengenai Ekonomi Hijau dan Keberlanjutan di HoB.
Lebih dari 60 peserta perwakilan masyarakat dari kawasan Heart of Borneo, sejumlah peserta dari Dataran Tinggi Krayan di Kalimantan Timur yang merupakan perbatasan antara Malaysia dan Indonesia, serta tidak ketinggalan pula LSM lokal dan WWF, pakar, dan akademisi dari Universitas Tanjung Pura Pontianak, tergabung dalam diskusi tiga hari mengenai Ekonomi Hijau, penghidupan pedesaan, dan pengembangan kebutuhan masyarakat di kawasan Heart of Borneo dengan fokus pada kawasan perbatasan sebagai garis depan yang dinamis dan muncul bagi pembangunan berkelanjutan di kawasan Heart of Borneo.
Diskusi-diskusi yang berjalan menunjukkan betapa pentingnya mengakarkan konsep Ekonomi Hijau ke dalam realitas setempat, praktik tradisional, dan teknologi tepat guna. Peserta diskusi cukup kritis menanggapi konsep yang sulit dan teoritis semacam Ekonomi Hijau, tetapi mereka dengan antusias berkontribusi dan berbagi interpretasi dan eksplorasi mereka mengenai Ekonomi Hijau yang dapat benar-benar meningkatkan keberlanjutan dan mengubah penghidupan mereka. Bisnis ekowisata berbasis masyarakat, pertanian beras organik, produksi madu hutan, pembuatan kerajinan tangan, semuanya merupakan bisnis masyarakat, ekonomi masyarakat yang dibangun di atas dua elemen utama, yaitu penghargaan terhadap budaya lokal dan nilai sosial, serta batas pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Ekonomi Hijau dan penghidupan lokal semakin saling berkait dalam rangka pembangunan berkelanjutan di kawasan Heart of Borneo.