MAHASISWA HARUS MENJADI GARDA TERDEPAN DALAM MENJAGA KELESTARIAN SUMBER DAYA HAYATI
Oleh: Ciptanti Putri
Jakarta, 15 Maret 2013. Bertempat di Auditorium Kampus A Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI, Jakarta, kemarin (14/03) telah berlangsung kegiatan “Citizen Journalism: Roadshow to Campus” dengan tema “Perdagangan Ilegal Satwa Liar”. Dalam kesempatan tersebut WWF-Indonesia hadir dengan pembicara Fathi Hanif, Governance Specialist WWF-Indonesia, dan Osmantri Abeng, Module Leader of Tiger Protection Unit WWF-Indonesia Program Riau. Hadir pula suporter kehormatan WWF-Indonesia yang luas dikenal publik sebagai seniman musik, Nugie, serta pakar Psikologi, Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono.
Acara dibuka dengan sambutan Direktur Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UPI YAI, Prof. Dr. Ir. Anoesyirwan Moeins, M.sc, MM. Beliau menjelaskan kepada ratusan mahasiswa UPI YAI yang memadati auditorium bahwa kegiatan hari itu selayaknya dimanfaatkan dengan sebaik mungkin sebagai bekal di masa mendatang. Nada serupa dilontarkan Nova Harivan Paloh, CSR Eksekutif Green Concern Kelompok Media Indonesia, yang menyatakan kegiatan yang sudah berlangsung di kali keenam tersebut dilakukan karena menyadari bahwa mahasiswa merupakan agent of change yang harus antisipatif terhadap pergerakan informasi yang bergulir kian cepat, terutama dalam isu lingkungan. Mahasiswa harus menjadi garda terdepan dalam menjaga kelestarian sumber daya hayati.
Talk show yang dimoderatori oleh Rossy Sihombing diawali presentasi dari Fathi Hanif. Fathi menjelaskan kiprah WWF-Indonesia yang sudah bergiat dalam aktivitas konservasi sejak 1962, di 27 titik di Nusantara. Ada sejumlah satwa liar yang menjadi perhatian organisasi ini, antara lain Gajah Sumatera, Harimau Sumatera, Badak Jawa, dan Orangutan.
“Bicara satwa langka, bicara kekayaan hayati. Masyarakat Indonesia belum sadar memiliki kekayaan hayati yang luar biasa sehingga tidak tahu cara mengelolanya. Padahal, salah satu competitiveness Indonesia adalah pada kekayaan hayati,” tutur Fathi sambil memperlihatkan sejumlah ilustrasi foto situasi perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar di sejumlah wilayah Indonesia.
Faktanya, perburuan satwa liar kian marak. Selama 2012 saja WWF-Indonesia menemukan 14 kasus. Meskipun Indonesia memiliki seperangkat peraturan perlindungan satwa liar, antara lain UU No. 59/1990, UU No. 26/2007, UU No. 31/2004, UU No. 41/1999, dan UU No. 16/1992, yang semuanya mengatur hukuman terhadap tindakan perburuan satwa liar, namun perdagangan satwa liar tetap berlangsung. Beberapa faktor disebut Fathi menjadi penyebab maraknya tindakan ilegal ini, yakni karena hobi berburu—yang bahkan dilakoni para pejabat negara/militer, diyakini merupakan obat, faktor gengsi (status sosial), dan mitos. Faktor belum optimalnya penegakan hukum serta aplikasinya yang masih sangat persuasif, belum optimalnya koordinasi aparat dengan instansi terkait, minimnya pengetahuan tentang UU yang terkait satwa liar, dan belum tersosialisasinya informasi mengenai jenis-jenis satwa yang dilindungi, menambah deret panjang penyebab. WWF-Indonesia secara aktif dan partisipatif mendorong upaya-upaya penyelamatan satwa liar lewat kontribusi dalam proses pembuatan UU maupun Peraturan Pemerintah yang terkait sanksi hukum pada pelanggaran terhadap kelestarian satwa liar di Indonesia.
Di kesempatan lain, Osmantri Abeng yang sering bersentuhan dengan kasus-kasus perburuan dan perdagangan satwa liar di wilayah Sumatera, memperlihatkan sebuah peta yang menunjukan posisi Indonesia sebagai negara pengekspor satwa liar terbesar di dunia. Saat ini karaktr perdagangan berlangsung secara bebas dan lebih terbuka, mulai setingkat penjaja kaki lima hingga penjual lewat situs internet. Praktiknya masih terus berlangsung karena tingginya permintaan sebagai bahan obat-obatan, suvenir, dll. Abeng menunjukan beberapa modus penyelundupan produk dari olahan satwa liar, yakni lewat pencampuran dengan produk legal, lewat kontainer atau kurir yang tak disangka-sangka (dibawa nenek-nenek atau bahkan ambulans), dll. Ditunjukan pula jenis-jenis satwa liar yang sering diperdagangkan seluruh bagiannya, baik untuk obat, suvenir, dan makanan, yaitu harimau, gajah, trenggiling, kijang, beruang, ular, dan babi hutan. “WWF mengambil peran dalam kegiatan penegakan hukum terhadap aktivitas perburuan satwa liar. Namun banyak menemui hambatan karena jumlah kasus yang makin banyak, sementara penanganan terbatas pada pelaku di lapangan, hukuman pelaku relatif ringan, serta rendahnya perlindungan terhadap saksi kasus,” pungkas Abeng.
Di awal penuturannya, Nugie--yang telah menjadi relawan di WWF-Indonesia sejak 1998--menyanyikan beberapa bait syair Mars Indonesia Raya yang menggambarkan betapa kayanya alam Indonesia. “Di awal bergabung menjadi relawan WWF, saya belajar selama enam bulan tentang kekayaan hayati dan program konservasi di Indonesia. Saya baru tersadar betapa kita memiliki kekayaan yang luar biasa yang harus kita jaga kelestariannya,” ungkap Nugie. Nugie menyatakan harapan kepada generasi muda agar punya kepedulian terhadap hal ini. “Spesies satwa liar penting keberadaannya dan perlu dilestarikan karena jika mereka hilang akan mengganggu keseimbangan habitat satwa secara umum. Sebagai contoh, jika harimau yang posisinya sebagai top predator musnah, maka hama yang merugikan manusia akan berkembang.”
Nugie menambahkan bahwa dirinya loyal membantu program-program WWF-Indonesia karena organisasi konservasi tersebut dalam mengelola kasus selalu mengutamakan jalan tengah yang menyasar keharmonisan. Nugie berharap mahasiswa UPI YAI dapat menjadi konservator lingkungan di masa mendatang.
Di sesi terakhir, Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono memberi uraian mengenai karakter psikologis para pelaku tindakan pidana perburuan dan perdagangan satwa liar. “Mereka biasanya individu yang unik, yang suka mencari perhatian dan sensasi,” jelasnya. Selain dorongan faktor ekonomi, orang-orang ini jelas tidak bervisi ke depan dan masa bodoh dengan lingkungan.
Talkshow hari itu ditutup dengan presentasi dari KFC sebagai mitra kegiatan, penyerahan cinderamata dari pihak UPI YAI kepada seluruh pembicara, serta sesi bagi-bagi hadiah bagi audiens yang aktif bertanya dan menjawab pertanyaan.
Kegiatan CSR Media Group (Media Indonesia dan Metro TV) atau Green Concern ini diselenggarakan sebulan sekali dalam rangka meningkatkan kesadaran publik terhadap isu-isu konservasi. Selain diisi pelatihan jurnalistik bagi para mahasiswa, acara ini diawali dengan talkshow dengan mendatangkan narasumber dari WWF-Indonesia, figur publik, dan pihak-pihak terkait lainnya.